Nurisa Purwito

Nurisa Purwito Mom dokter yang suka sharing & menulis, penulis novel di aplikasi KBM, nama pena: Nurisa Purwito

BAGAIMANA RASANYA MENGGANTIKAN KAKAK KANDUNGMU MENIKAH DENGAN ORANG YANG KAMU SUKAI?***Bab 3: Cinta Pertama Orang bilang...
11/06/2025

BAGAIMANA RASANYA MENGGANTIKAN KAKAK KANDUNGMU MENIKAH DENGAN ORANG YANG KAMU SUKAI?

***

Bab 3: Cinta Pertama

Orang bilang, cinta pertama jarang menjadi yang terakhir.

Tapi bagi Reynard, Maya adalah segalanya. Awal. Tengah. Akhir. Dia perempuan yang sudah membuatnya jatuh hati.

Sejak kecil mereka sering bermain bersama saat bertemu di ulang tahun atau acara lainnya. Saat SMA ia mulai tahu kalau mereka berdua dijodohkan. Awalnya ia tak terlalu peduli dengan perjodohan itu, tapi lambat laun gadis itu mulai mencuri hatinya.

Kenangan itu masih terekam tajam—seperti kaset tua yang terus diputar ulang di kepalanya.

Maya berdiri di tengah lapangan basket, mengenakan seragam putih abu-abu. Rambutnya dikuncir kuda, p**inya merona, dan senyum kecil di bibirnya berhasil membuat Reynard yang sedang bermain kehilangan bola.

“Offside, bro,” teriak Evan, teman satu timnya.

Tapi Reynard tak mendengar. Pandangannya tak pernah lepas dari Maya, yang saat itu sedang tertawa sambil menggigit ujung sedotan minuman jus jambu.

Perlahan tapi pasti, setelah tiga bulan pendekatan, Reynard akhirnya menyatakan cinta. Sejak saat itu, mereka tak terpisahkan.

Reynard mengantar Maya ke mana pun. Dari tempat les, salon, bahkan ke undangan pernikahan sepupu Maya yang ia sendiri tak kenal. Ia rela duduk berjam-jam menunggu Maya mencoba dress di butik.

Dan ketika Maya masuk ke dunia modeling, Reynard adalah orang pertama yang membantunya membangun portofolio—memotret, menyemangati, bahkan menjadi asisten dadakan.

Dia bangga. Maya cantik, percaya diri, ambisius. Seperti bintang yang terus memanjat langit, dan Reynard adalah gravitasi yang bersedia tetap di bawah untuk memastikan Maya tidak jatuh.

Suatu malam, setahun lalu, di rooftop sebuah hotel tempat Maya menginap untuk pemotretan, Reynard memberanikan diri melamar.

Ia membawa cincin kecil, tidak mewah, tapi cukup untuk menunjukkan keseriusannya.

“Aku tahu kariermu masih panjang. Tapi aku nggak akan ganggu. Aku cuma ingin kita saling menunggu. Nanti, kalau kamu sudah siap... kita nikah,” katanya waktu itu, dengan tangan sedikit gemetar.

Maya tersenyum, mencium p**i Reynard, lalu berbisik, “Aku belum siap sekarang... Tapi suatu saat nanti, kalau aku menikah, aku ingin itu dengan kamu.”

Paris.

Kota impian para perancang dan model. Dan untuk Maya, Paris adalah puncak dari segala ambisi yang ia rajut sejak remaja—sejak pertama kali kakinya melangkah ke runway kecil di mall kota.

Selama berbulan-bulan, ia mempersiapkan segalanya. Portofolio, pelatihan, bahkan diet ketat. Tawaran dari agensi di Paris—meski masih tahap audisi—sudah cukup membuatnya berani menunda pernikahan. Menunda Reynard.

Tapi semua tak selalu berjalan seperti yang dibayangkan.

Tiga bulan setelah keberangkatannya ke Paris, Maya menghubungi Reynard dari kamar hotelnya. Suaranya serak, pelan, seperti orang yang baru saja kehilangan mimpi.

"Aku nggak keterima, Rey," katanya pelan.

Reynard terdiam, tak langsung menjawab. Ia bisa mendengar embusan napas Maya di seberang telepon, dan juga tangis kecil yang ditahan.

"Aku... mereka bilang aku nggak sesuai citra agensi mereka. Kurang unik. Terlalu biasa. Aku habis-habisan buat ini, Rey..." Suara Maya pecah. "Aku ngerasa gagal."

Reynard menarik napas dalam-dalam. Ada bagian dalam dirinya yang ingin bilang, “Sudah kubilang.” Tapi dia tidak. Reynard bukan pria yang mencari kemenangan dalam kegagalan orang yang dicintainya.

Sebaliknya, ia berkata, “Kamu nggak gagal, May. Kamu cuma... sedang diarahkan ke tempat lain. Dan mungkin, tempat itu ada di sini. Sama aku.”

Beberapa hari kemudian, Maya p**ang. Wajahnya lebih tenang, meski masih terlihat bekas kecewa.

Reynard datang menemui Maya langsung, membawa satu kotak kecil di tangan.

Saat membuka kotaknya, Maya menemukan cincin lamaran yang dulu pernah ingin Reynard berikan—yang saat itu Maya tolak dengan senyum pelan.

Kini, cincin itu kembali padanya.

"Aku siap, Rey," ucap Maya lirih. "Kalau kamu masih mau nikahin aku, aku siap sekarang."

Reynard tertegun.

Detik itu juga, dunia seperti berhenti berputar.

Dia menatap perempuan yang selama ini menjadi pusat doanya, harapannya, dan kesetiaannya. Dan kini, Maya kembali. Membawa dirinya, hatinya, dan harapan baru.

Tanpa pikir panjang, Reynard memeluknya. Lama. Erat. Seakan ingin memastikan bahwa kali ini Maya benar-benar tinggal.

"Aku nggak pernah berhenti nunggu," bisiknya di telinga Maya.

Untuk pertama kalinya, Reynard merasa semua pengorbanan selama ini tidak sia-sia.

Perempuan yang ia cinta, akhirnya memilih tinggal.

Dan malam itu, langit tampak lebih bersih dari biasanya. Bahkan bintang pun seperti ikut merayakan kembalinya Maya ke dalam pelukan Reynard.

Dua hari menjelang pernikahan.

Gaun sudah dijahit. Undangan telah disebar. Gedung, katering, dekorasi—semuanya siap. Bahkan seserahan telah ditata rapi di kamar Maya, berdampingan dengan sepatu hak tinggi dan kotak perhiasan berlapis beludru merah marun.

Maya duduk di tepi ranjang, menatap ponselnya dengan tangan gemetar. Layar menampilkan surel dari Paris.

Subject: URGENT – Replacement Model Needed

Isi pesannya singkat namun menghantam keras:

“One of our runway models suffered a sudden injury. You are shortlisted and approved for immediate replacement. We’re offering a 3-month contract with possible extension. If you can arrive in Paris within 48 hours, we’ll proceed with arrangements.”

Udara di sekitar Maya terasa sesak.

Matanya berpindah dari layar ke cermin besar di hadapannya. Di sana, ia melihat bayangan seorang perempuan yang selama ini hidup dalam ambisi dan keraguan. Bayangan seorang calon pengantin... dan sekaligus calon model Paris Fashion Week.

Pilihan yang tidak mungkin dijalani bersamaan.

Ia meraih telepon, jari-jarinya ragu. Ia sempat membuka kontak Reynard, lalu menghapusnya.

"Aku harus memilih hidupku sendiri... Maaf Rey," bisiknya pada dirinya sendiri.

---

Judul: Menantu Cadangan
Oleh: Nurisa Purwito
Baca selengkapnya di aplikasi KBM

BAGAIMANA RASANYA MENGGANTIKAN KAKAK KANDUNGMU MENIKAH DENGAN ORANG YANG KAMU SUKAI?***Aku adalah Mika. Mikaela Hanum Ra...
09/06/2025

BAGAIMANA RASANYA MENGGANTIKAN KAKAK KANDUNGMU MENIKAH DENGAN ORANG YANG KAMU SUKAI?

***

Aku adalah Mika. Mikaela Hanum Rahardjo. Anak kedua dari keluarga Rahardjo. Adik Mbak Maya. Kami beda usia tiga tahun. Umurku 22 tahun. Saat ini Mbak Maya 25 tahun.

Meskipun aku adik Mbak Maya, aku sama sekali tidak mirip dengannya. Mbak Maya tinggi. Aku rata-rata saja. Mbak Maya seorang model yang terkenal, dan aku... Tentu saja tidak. Aku sama sekali tidak terkenal.

Waktu kecil, perekonomian keluarga kami belum terlalu baik. Papa masih merintis usaha. Jadi, sejak kecil aku sering memakai baju bekas Mbak Maya. Tentu saja aku s**a, karena baju Mbak Maya bagus-bagus. Menurutku gaya kakak sangat keren. Pakaiannya juga cantik-cantik. Lagip**a badanku kecil, jadi baju-bajuku tidak cepat ganti.

Mbak Maya tegas, dia tahu apa yang dia inginkan. Sejak kecil, dari memilih baju, sepatu, jurusan kuliah, dan sekolah. Begitu p**a tempat kerja dan cita-cita. Aku tahu kakak ingin menjadi model internasional. Namun, saat ini bisnis Papa sedang kurang baik.

Tapi, aku tak menyangka Mbak Maya kabur tepat di saat hari pernikahannya sendiri. Sepertinya itu membuat Papa dan Mama dalam kesulitan besar.

Pagi itu, setelah berdiskusi dengan Papa, Mama memanggilku.

“Mika, sayang... ada hal yang harus Mama bicarakan. Kami ingin tanya, tapi ini cuma permintaan. Keputusan tetap di kamu.”

Aku menoleh, pelan. “Maksud Mama?”

Papa berdiri, bersandar di meja. “Kalau... kamu bersedia menggantikan Maya. Menikah dengan Reynard. Hari ini.”

Aku terpaku. Tak ada suara. Hanya detak jantungku sendiri yang bergema di telinga. Bag*imana ini, tidak mungkin aku menggantikan Mbak Maya menikah, apalagi dengan Reynard.

Bukan aku tidak mau dengan Reynard, tapi aku tahu diri. Mas Reynard pewaris perusahaan, sudah gitu ganteng. Apa dia mau sama aku? Pasti dia nggak mau.

Aku harus cari alasan. Berpikir Mika!

“Aku... Aku masih koas.”

“Kami tahu,” bisik Mama. “Tapi ini... soal kehormatan dan masa depan keluarga kita.”

“Koas itu bukan alasan,” potong Papa cepat. “Menikah sambil koas itu bisa. Banyak yang begitu.”

“Aku... aku bukan Mbak Maya. Apa nanti Kak Reynard akan mau, Ma?”

Aku menunduk, suaraku melemah. Aku tidak secantik kakakku. Kami sangat berbeda. Mbak Maya anak yang gaul, berparas menarik, dan pandai membawa diri. Dia juga sangat percaya diri dan tubuhnya tinggi, sehingga cocok sekali dengan keputusannya berkarir sebag*i model.

Sedangkan aku dari dulu memang terlihat culun, mataku minus lima sehingga harus pakai kacamata besar. Aku juga pendiam dan tidak percaya diri.

Maka dari itu, aku memilih untuk selalu belajar dengan rajin, sehingga bisa masuk fakultas kedokteran, sesuai dengan cita-citaku sejak kecil. Aku ingin menolong orang dan menjadi orang yang berguna.

Keinginanku yang aku jalani sendiri adalah menjadi dokter. Itu pun awalnya juga karena Mama dan Papa mengusulkannya.

"Kalau kamu tidak cantik, setidaknya kamu harus pandai." Itu yang dulu pernah Papa katakan kepadaku saat aku kecil. Maka aku selalu belajar keras dan langganan juara umum di sekolah dari SD sampai SMA.

Papa memang sangat menyayangi Kak Maya. Mungkin karena beliau anak pertama dan sangat mirip dengan Papa. Tapi, Mama dan Papa juga menyayangiku. Apalagi Mama.

"Kamu juga cantik, anak Mama itu cantik-cantik semua." Itu yang selalu Mama katakan kepadaku kalau aku tidak PD.

Tapi, biarpun begitu, aku tahu. Aku memang tidak secantik kakakku. Kulit wajahku berjerawat dan tubuhku terlalu kurus, badanku juga tidak terlalu tinggi seperti Kak Maya. Yang sama hanya warna kulit kami yang putih bersih.

Aku tidak yakin orang itu, Reynard, mau menikah denganku.

“Aku tidak bisa menggantikannya begitu saja.”

Mama mencengkeram lenganku, lembut tapi tegas. “Sayang, kita tidak bisa p**ang dengan malu. Tolonglah, untuk Papa, untuk Mama.”

Tatapanku beralih pada wajah kedua orangtuaku. Papa yang biasanya tenang kini terlihat tua, lelah, kalah. Mama yang lembut kini menggenggam tanganku seperti anak kecil yang takut tersesat.

Dan di sanalah aku—Mika yang bukan siapa-siapa—berdiri di tengah reruntuhan reputasi keluarga kami. Aku tidak tega melihat keduanya kecewa.

"Baiklah, Ma, Pa. Aku setuju." Air muka Mama dan Papa kembali cerah. Dalam hati aku berharap semoga Reynard menolakku.

---

Tunangan kakakku, Reynard melirik ke arahku sekilas, lalu membuang pandangan ke samping.

“Kalian serius?” Papa Reynard menatapku tajam.

Mama Reynard mendengus. “Apa kalian buta? Lihat dia! Bukan hanya berbeda dari Maya. Dia... seperti kutu buku kelelahan. Kurus. Kacamata tebal. Mana ada pria yang mau?”

Aku membetulkan kacamataku, lalu menarik napas dalam-dalam, mencoba tak goyah. Tapi dadaku sesak. Memang itu betul, tapi setidaknya tidak usah diperjelas.

Reynard bergerak. Semua mata tertuju padanya.

“Lakukan.”

Suara itu dingin. Datar. Tapi menghentak.

Papa Reynard menoleh cepat. “Apa maksudmu?”

“Aku akan menikahinya.”

Seketika hening. Aku menoleh padanya, terkejut. “Apa... kenapa?” Kukira dia tidak akan mau denganku.

Reynard menatapku sekilas. Tidak ada kelembutan. Tidak ada senyum. “Lebih baik menikahi siapa pun... daripada membatalkan pernikahan dan mencoreng nama keluarga kami.”

Aku tercekat. Itu bukan jawaban yang manis. Tapi setidaknya, itu menyelamatkan orangtuanya, juga orangtuaku. Menyelamatkan keluarga kami berdua.

Mama meremas tanganku. “Maaf, Nak... kami tidak tahu harus bag*imana lagi.”

Aku mengangguk pelan.

"Aku mau ngomong sama anak itu dulu. Siapa namanya?"

"Mika." Aku menjawab.

Bahkan dia tidak tahu nama gadis yang akan dia nikahi. Apa dia sungguh-sungguh?

Judul: Menantu Cadangan
Oleh: Nurisa Purwito
Baca selengkapnya di aplikasi KBM

ADIK TIRIKU PACARAN SAMA CALON SUAMIKU?OKE, AKU JUGA BISA DAPAT DOKTER GANTENG YANG KEREN!***Bab 6: Penawaran "PICU?""Ya...
26/05/2025

ADIK TIRIKU PACARAN SAMA CALON SUAMIKU?
OKE, AKU JUGA BISA DAPAT DOKTER GANTENG YANG KEREN!

***

Bab 6: Penawaran

"PICU?"

"Ya, kondisinya tidak stabil. Kita butuh pemantauan ketat, bantuan oksigen lebih optimal, dan kemungkinan terapi lanjutan." Dr. Adul menarik napas dalam. "Tapi biayanya cukup besar. Bag*imana?"

"Setuju. Masukkan saja ke PICU."

Nia menoleh, menatapnya tak percaya.

"Aku yang tanggung biayanya," lanjut Ray, ekspresinya tetap datar, tak membiarkan perasaan apa pun terlihat.

Ruangan terasa hening sejenak.

Nia ingin protes, tapi kata-kata terjebak di tenggorokannya.

---

Monitor masih berbunyi pelan, menampilkan ritme jantung yang kini lebih stabil. Di balik kaca ruang PICU, Ray berdiri dengan tangan terlipat di dada, matanya mengamati tubuh kecil di atas ranjang yang dikelilingi berbag*i alat medis. Ardi masih terlelap di bawah efek obat, dadanya naik turun dengan teratur.

Di sampingnya, Nia berdiri diam. Wajahnya tampak letih, matanya kosong, tapi tetap menatap Ardi dengan penuh kecemasan.

Ray akhirnya membuka suara. "Kamu beneran nggak punya siapa-siapa? Paman, bibi... keluarga jauh mungkin?"

Nia menggeleng lemah. "Nggak ada."

Jawaban itu membuat perut Ray sedikit mengerut. Bukan karena kasihan, tapi lebih ke sesuatu yang mengusik sisi lain dalam dirinya—sisi yang sudah lama ia tekan dalam-dalam.

Ia memejamkan mata sesaat, membiarkan pikirannya melayang ke masa lalu.

---

Dulu, dia juga pernah berdiri seperti ini. Bukan sebag*i dokter, tapi sebag*i seorang anak yang baru kehilangan adik perempuannya.

Karin.

Adiknya yang dulu begitu ceria, berlarian di sekitar rumah dengan tawa renyah, tiba-tiba terbaring kaku di ranjang rumah sakit. Diagnosisnya datang terlambat. Penyakit jantung bawaan yang tidak pernah terdeteksi sejak kecil, atau lebih tepatnya—tidak pernah ditangani dengan benar.

Ayahnya selalu berkata, "Nggak usah lebay, Ray. Karin baik-baik aja. Cuma kecapekan."

Kata-kata itu terus berulang, bahkan saat Naya sering pingsan, sesak napas, dan membiru di ujung-ujung jari. Ray yang masih remaja saat itu berusaha bicara, memohon agar Karin diperiksa lebih serius.

Tapi ayahnya tetap dengan egonya.

Sampai akhirnya, hari itu datang.

Karin kejang di lantai kamar. Saat dibawa ke rumah sakit, semuanya sudah terlambat. Ray melihat sendiri bag*imana tim medis berusaha menyelamatkan nyawa adiknya. CPR, intubasi, defibrillator. Semuanya sia-sia.

Saat dokter akhirnya menggeleng, menyatakan Karin meninggal, Ray tidak bisa menahan emosinya. Ia berbalik dan langsung berteriak marah kepada ayahnya.

"Ini salah Ayah!" teriaknya. "Kalau aja Ayah nggak keras kepala, kalau aja Ayah mau dengerin—"

T a m p a r a n keras menghentikan kata-katanya.

"Jangan kurang ajar!"

Tapi Ray sudah tidak peduli. Sejak hari itu, hubungannya dengan ayahnya rusak. Ia tumbuh dengan kemarahan yang membara, dengan tekad untuk menjadi dokter yang tidak akan mengabaikan pasien seperti ayahnya mengabaikan Karin.

Dan melihat Nia hari ini, dia seperti melihat dirinya sendiri.

---

Ray membuka mata kembali ke masa kini. Nia masih berdiri di sampingnya, wajahnya pucat dan lelah.

Mungkin dia sama seperti dirinya dulu. Sendirian. Tidak punya siapa-siapa. Tidak ada yang bisa dimintai bantuan.

Tanpa pikir panjang, ia berkata, "Ayo ikut aku ke tempatku sebentar."

Nia mengerutkan dahi. "Ke mana?"

"Kontrakan. Kamu butuh istirahat. Ardi sudah stabil, perawat akan jag*in."

Nia terlihat ragu. "Aku nggak bisa ninggalin Ardi."

"Apa kamu lupa kalau kita ada janjian sore ini," Ray menatap Nia tajam, "soal mobilku," ucap Ray tanpa memberi ruang untuk penolakan.

"Jangan-jangan kamu berniat kabur!"

Nia tergagap. Wajahnya memerah. "Aku nggak lupa, kok. Aku nggak berniat kabur."

Ray tersenyum sinis. "Ayo. Dan jangan kira pengobatan adikmu itu gratis!" Kemudian berjalan ke parkiran.

"Iya, baik. Aku tahu. Aku pasti bayar. Hey..." Nia menjajari langkah Ray.

---

Kontrakan Ray ternyata tidak sebesar yang ia bayangkan. Sederhana, tapi cukup nyaman. Tidak ada kesan rumah dokter kaya, hanya rumah kecil yang rapi dan bersih. Letaknya tidak jauh dari rumah sakit, hanya butuh beberapa menit naik motor.

Nia duduk di kursi kayu dekat meja makan, menggenggam cangkir teh hangat yang baru saja diberikan Ray. Tangannya masih gemetar sedikit, efek dari kelelahan dan ketegangan seharian.

"Om tinggal sendirian di sini?" tanya Nia akhirnya, mencoba mengalihkan pikirannya dari kecemasan tentang Ardi.

Ray mengangguk sambil membuka kulkas. "Iya. Tempat ini dekat rumah sakit, jadi praktis."

Dia mengeluarkan beberapa bahan makanan dan mulai memasak. Nia mengamatinya dalam diam. Ada sesuatu yang berbeda dari Ray saat di rumah dibanding saat di rumah sakit. Di sini, dia terlihat lebih santai, lebih manusiawi.

Tidak ada jas dokter, tidak ada ekspresi dingin seperti saat menangani pasien.

"Kenapa Om bantu aku?" tanya Nia tiba-tiba.

Ray berhenti sejenak, lalu melanjutkan memotong sayur. "Itu nggak gratis, kok. Kamu harus bayar."

"Iya tahu. Tapi, tetap terima kasih."

"Mobilnya juga."

Mau kesal, tapi udah ditolong, pikir Nia.

Ruangan terasa lebih sunyi dari sebelumnya. Suara panci yang disentuh Ray saat memasak adalah satu-satunya yang terdengar. Nia masih duduk di kursi kayu, mengusap pinggiran cangkir teh dengan ibu jarinya, pikirannya melayang.

Dia lelah. Bukan hanya fisik, tapi juga mental. Seharian ini seperti mimpi buruk yang tak kunjung selesai.

Ardi sakit. Biaya rumah sakit mahal. Dia tak punya siapa-siapa.

Lalu sekarang, dia ada di sini. Di rumah seorang pria yang bahkan baru benar-benar ia kenal hari ini.

Ray menaruh sepiring nasi dan sup ayam di depannya, kemudian duduk di seberang. "Makan dulu."

Nia menatap makanan itu ragu.

"Kalau kamu pingsan, siapa yang bakal jag*in adikmu?" lanjut Ray, suaranya tetap tenang, tapi cukup tajam untuk membuat Nia menghela napas dan akhirnya menyendok makanannya.

Ray menyesap kopi panas yang sudah mulai hangat. Pandangannya tetap fokus pada Nia yang duduk di seberangnya. Gadis itu tampak lelah, tapi matanya masih menyimpan kewaspadaan.

"Kamu umur berapa?" tanya Ray, suaranya datar tapi tidak mengintimidasi.

"19 tahun, mau 20," jawab Nia cepat.

"Tinggal sama siapa?"

"Berdua sama Ardi."

Ray mengangguk pelan. "Adikmu itu kelas berapa?"

"Kelas 4 SD."

"Kamu punya keluarga lain nggak?"

Ekspresi Nia berubah. Ada jeda sesaat sebelum dia menjawab, "Ada. Mama dan adik tiri, tapi kami nggak serumah. Dan mereka punya kehidupan sendiri."

Ray mengamati ekspresi gadis itu. Jawabannya singkat, tapi ada banyak hal yang tersirat di dalamnya.

"Kamu kuliah atau kerja?"

"Kuliah."

"Di mana? Jurusan apa?"

"Universitas Negeri Malang."

"Jurusan apa?"

"Pendidikan Luar Sekolah."

Dahi Ray berkerut. "Apa itu?"

Nia mengangkat bahu sedikit. "Kayak pendidikan nonformal, sih. Fokusnya lebih ke masyarakat yang nggak sekolah formal, kayak anak putus sekolah, pendidikan keaksaraan, pelatihan keterampilan. Intinya, pendidikan di luar sistem sekolah biasa."

Ray mengangguk, mencoba memahami. "Kamu ambil jurusan itu karena memang mau atau karena keadaan?"

Kali ini, Nia tersenyum tipis, tapi ada kepahitan di sana. "Karena keadaan. Aku s**a dunia pendidikan, tapi aku juga realistis. Jurusan ini lebih murah dibanding fakultas lain, dan peluang kerja tetap ada."

Ray diam sejenak. Jawaban Nia mengingatkannya pada sesuatu. Seseorang.

Sebuah kenangan lama yang masih menghantui sampai sekarang.

---

Sepuluh tahun lalu, dia duduk di ruang tunggu rumah sakit, menggenggam tangan kecil yang mulai dingin.

Adiknya, Karin, baru berumur tujuh tahun. Seharusnya dia sedang belajar membaca, menggambar, atau bermain boneka seperti anak-anak lain. Tapi tidak. Karin malah terbaring di ranjang rumah sakit dengan selang oksigen terpasang di hidungnya.

"Mas Ray, aku boleh minta sesuatu?" suara Karin lemah.

Ray menggenggam tangannya lebih erat. "Apa aja buat Karin."

"Aku pengen sekolah beneran, kayak anak-anak lain…"

Napas Ray tercekat. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Karin sakit sejak kecil, tubuhnya terlalu lemah. Ayah mereka selalu berkata, "Gimana bisa sekolah kalau sakit-sakitan?"

Ray membenci kalimat itu.

Membenci bag*imana ayahnya menyerah pada Karin begitu saja.

Dan pada akhirnya, Karin benar-benar pergi.

Tanpa pernah merasakan duduk di kelas, tanpa pernah menikmati masa kecilnya sepenuhnya.

---

Ray menarik napas panjang, kembali ke kenyataan.

Dia menatap Nia, yang masih menunggu.

"Jadi, kamu sendirian nanggung Ardi?" tanyanya lagi.

Nia mengangguk pelan. "Iya."

"Nggak kepikiran cari bantuan dari keluarga?"

"Untuk apa?" Nia tersenyum kecil, tapi kali ini tanpa emosi. "Mereka punya kehidupan sendiri. Aku udah cukup merepotkan mereka selama ini."

Ray menatap gadis di depannya lebih lama. Ada sesuatu dalam cara Nia bicara—seolah dia sudah terbiasa bertahan sendiri.

Seperti dia dulu. Semenjak adiknya meninggal, ia memutuskan untuk pergi dari rumah. Dan itu benar-benar ia kerjakan setelah lulus dari SMA. Saat kuliah, ia benar-benar putus hubungan dengan ayahnya. Tidak mau lagi bahkan hanya sekedar menjejakkan kaki ke rumah itu. Bahkan, ia sama sekali tidak meminta biaya kuliah. Untuk hidup sehari-hari ia mengandalkan dari beasiswa dan bermain saham.

Ray kangen Mamanya, tapi egonya terlalu tinggi untuk kembali menemui ayahnya di rumah. Akhirnya, Mamanya yang mengalah dengan datang ke tempat kos atau kontrakan Ray.

Setelah beberapa saat hening, Ray akhirnya berujar, "Aku ada tawaran buat kamu."

Nia menatapnya waspada. "Apa?"

Ray menyandarkan punggung ke kursi, lalu menatapnya lurus.

"Bayar dengan tubuhmu, jadilah istriku."

"Apa?"

PLAK!

Judul: Gadis Desa Jadi Nyonya
Oleh: Nurisa Purwito
Baca selengkapnya di aplikasi KBM

Ceritanya ini sekolahan kakak mau bikin buku tahunan. Jadilah kami bikin foto keluarga 🥰Dalam dunia yang terus berubah, ...
05/05/2025

Ceritanya ini sekolahan kakak mau bikin buku tahunan. Jadilah kami bikin foto keluarga 🥰

Dalam dunia yang terus berubah, keluarga adalah tempat kita selalu kembali
Tempat di mana doa, tawa, peluk, dan semangat bertemu
Bukan tentang sempurna, tapi tentang bertumbuh bersama
Bukan tentang selalu setuju, tapi tentang tetap saling mendukung

❤️

Suamiku bilang aku jelek, kaku, kampungan dan ngebosenin. Katanya lagi, tidak ada yang mau denganku kecuali dia, itu pun...
04/05/2025

Suamiku bilang aku jelek, kaku, kampungan dan ngebosenin. Katanya lagi, tidak ada yang mau denganku kecuali dia, itu pun terpaksa. Tapi saat ada cowok keren yang mengejarku, kenapa dia tiba-tiba panik?

***
Istrimu Idamanku (1)

Tawa ejekan sontak memenuhi telinga Adiba saat wanita itu baru tiba di restoran. Senyum di wajahnya pun mendadak hilang. Rona bahagia yang semula terpancar di sana berganti aura kemarahan. “Mas, apa-apaan ini?”

Pras yang mengundang Adiba ke restoran itu tertawa puas setelah berhasil mempermalukan Adiba di depan semua teman-temannya. “Katanya dosen, tapi gampang banget dikibulin.” Ia bahkan sampai memegangi perutnya saat tadi Adiba masuk.

Wajah Adiba semakin merah. Matanya pun makin memanas. Dengan sisa keberanian dia lalu berbalik dan meninggalkan tempat itu. Langkahnya kaku tak beraturan. Seumur hidup, belum pernah ia diperlakukan seburuk malam itu. Dan yang paling menyakitkan adalah, orang yang mempermalukannya adalah Prasetya, suaminya sendiri. Bahkan, saat Adiba balik badan, Pras tidak mengejar.

Pagi tadi Adiba memang begitu bahagia saat membaca pesan dari Pras kalau suaminya itu memintanya datang ke sebuah restoran untuk makan malam. Wajar saja, karena selama setahun mereka menikah, Pras sama sekali tidak pernah mengajaknya keluar. Jangankan pergi pesta, jalan berdua saja tidak pernah. Pras bilang bahwa malam itu adalah perayaan ulang tahun anak rekannya di kantor dan ada pesta kostum dengan memakai pakaian ala badut.

Adiba yang sudah terlanjur bahagia membaca pesan Pras tidak berpikir panjang. Siang harinya ia langsung p**ang dari kampus tempatnya mengajar lalu membeli perlengkapan kostum ala badut. Ia lalu merias wajahnya agar mirip seperti badut. Namun, saat tiba di lokasi, Adiba memang sempat merasa aneh. Karena restoran yang dimaksud begitu tenang, elegant dan terkesan mewah. Tidak cocok untuk mengadakan pesta anak-anak di tempat itu dan saat ia memutuskan untuk masuk, benar saja bahwa Pras sengaja menyuruhnya datang untuk membuatnya malu.

Adiba terus berjalan cepat. Tak dihiraukannya semua mata yang memandangnya aneh. Yang terpenting Ia harus bisa pergi dari tempat itu secepatnya. Adiba sudah memesan taksi on-line tapi lokasinya cukup jauh, hingga akhirnya ia berusaha menghentikan laju kendaraan yang tengah lewat.

“Tolong! Tolong saya!” Adiba mulai berteriak dengan suara parau. Hingga akhirnya beberapa menit kemudian sebuah sepeda motor menepi.

“Tolong antar saya ke Jalan Jaksa. Saya bayar berapa pun ongksnya.”

Bu Adiba? ujar si pengendara motor seraya mengerutkan dahinya yang tertutup helm, tapi dia diam dan pura-pura tidak kenal. Si pengemudi awalnya merasa aneh saat melihat ada badut wanita tengah menangis di pinggir jalan. Akhirnya tanpa pikir lama, dia langsung melajukan motornya menghampiri Adiba dan mengantarnya ke tempat tujuan.

“Terima kasih. Ini ongkosnya,” ucap Adiba sambil mengangsurkan selembar uang lima puluh.

Akan tetapi si pengemudi hanya menggeleng. Ia lalu mengangguk pelan dan meninggalkan Adiba.

Keesokan harinya Adiba kembali mengajar dengan wajah ceria. Dosen tergalak di Universitas Persada itu lalu mengitari meja para mahasiswanya untuk mengecek tugas yang baru ia berikan minggu lalu.

“Nabil, tugas kamu mana?” ucapnya pada salah seorang mahasiswanya yang bernama Nabil. Namun, Nabil malah diam dan terus menatap lekat Adiba.

“Ibu baik-baik aja?”

“Kamu pikir dengan bertanya kabar, saya akan lupa kalau kamu belum mengerjakan tugas?”

Nabil menyering*i seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal, “Saya cuma khawatir.”

“Kamu silakan keluar.”

Tegas. Begitulah keseharian Adiba. Baginya tidak ada toleransi bagi sebuah ketidakdisiplinan. Nabil bangkit lalu keluar, tapi tanpa setahu Adiba dia sempat meletakkan sesuatu di meja dosennya itu.

Satu jam kemudian kelas selesai. Adiba menyalakan ponsel dan langsung ada panggilan masuk, membuat wajah Adiba mendadak tegang. “Mas Pras. Mau apa dia?”

Setelah mempermalukannya semalam, Pras memang tidak p**ang. Awalnya Adiba kesal dengan sikap suaminya yang sering tidak p**ang tanpa kabar, tapi lama-lama dia mulai terbiasa. Lebih kepada tidak peduli. Apalagi Pras menekankan bahwa pernikahan mereka hanya sebatas nikah balas budi. Di mana tidak ada hak dan kewajiban keduanya untuk bersikap sebag*i suami istri. Tapi tiba-tiba saja siang itu dia datang menjemput Adiba.

“Halo, Assalammualaikum, Mas.”

“Cepet turun. Gue di bawah”

“Tapi aku kan nggak minta jemput, Mas. Lagian aku masih ada kerjaan.”

“Nggak usah cerewet. Buruan!”

“I-iya, Mas.” Adiba memilih tidak membantah, karena yang sudah-sudah semua argumennya di hadapan Pras akan percuma. Adiba melirik arloji di tangan kanan lalu lekas bangkit dan menuju tempat parkir.

“Lama banget! Dasar lelet!” Pras langsung mengumpat saat melihat Adiba berjalan mendekat, padahal sejak tadi dia asyik mengamati paras para mahasiswi yang berlalu lalang di depannya.

“Maaf, Mas. Baru selesai kelas.”

“Alasan. Emang dasar kamu lambat! Siapa si yang mau menikah sama cewek ngebosenin kayak kamu? Nggak ada!! Cuma aku. Itu pun terpaksa," ucap Pras seraya melempar keras kunci mobil di tangannya ke wajah Adiba. Beruntung ada seseorang yang langsung sigap menangkap sebelum kunci mengenai wajah Adiba.

“Jangan kasar, Pak. Kalau udah nggak s**a, lepasin aja."

Bisa lanjut baca di KBMApp, ya.
Judul: Istrimu Idamanku
Penulis: Desma_F3

https://read.kbm.id/book/detail/f5a40a35-e176-4c5a-bbf6-65d2d890052d?af=3d75304f-3ed3-fde5-0fb1-ba8

Kalau kamu s**a cerita ini jangan lupa like, share dan komennya ya.
Jangan lupa follow juga akun penulis.
KBMApp: Desma_F3
Fb: Pena Fiksi
Ig dan tiktok: Pena Fiksi312

Suamiku Jarang Menyentuhku. Namun, malam itu, dia tiba-tiba p**ang ke rumah membawa wanita selingkuhannya dan mereka mel...
04/05/2025

Suamiku Jarang Menyentuhku. Namun, malam itu, dia tiba-tiba p**ang ke rumah membawa wanita selingkuhannya dan mereka melakukan adegan...

***

Judul : Ku mis kinkan Mantan Suami & Selingkuhannya (1)

---

"Raline Cendra Muria, aku talak kau sekarang!"

Suara Aji tiba-tiba menggelegar memenuhi ruangan sempit itu. Dingin dan penuh pengh!naan. Matanya menyala, menatap Raline dengan sering*i picik seolah-olah istrinya hanya serpihan tak berguna.

"Kau hanya beban!"

Kata-kata itu mengha ntam Raline seperti kilat di siang bolong. Seketika, dunianya terhenti. Tubvhnya membeku, jantungnya serasa melompat ke tenggorokan.

"A-apa... maksudmu, Mas?"

Suara Raline bergetar, mencoba tetap tegak meski hatinya sudah hancur berkeping-keping. Tak percaya kata-kata itu benar keluar dari mulut Aji, pria yang selalu ia cintai dan kagumi. Tak ada tanda-tanda, tak ada peringatan. Semua serba mendadak. Bahkan, Raline sendiri tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi?

Aji mendengus, matanya yang dulu penuh cinta kini tak lagi memancarkan kehangatan. Yang tersisa hanya kebencian yang membara. "Dengar baik-baik, Raline. Aku muak. Muak dengan semua ini! Kau dan segala dramamu, hanya membebani hidupku!"

Raline terperangah tak percaya.

"Aku sudah punya Mita sekarang."

Duar!

Seolah bo m mele dak di depan wajahnya. Raline terguncang, tubvhnya seketika kaku. Aji dengan santai melanjutkan, "Dia jauh lebih baik daripada kau dalam segala hal."

Kata-kata Aji datar, tersirat kebanggaan yang menjij!kkan. Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Raline. Namun, ia menahan diri ma ti-mat!an.

Tidak!

Ia takkan menangis di hadapan pria yang dengan kej am menghancurkan hidupnya.

“Mita?” Nama itu menyayat perasaannya. Wanita itu telah merenggut bukan hanya suaminya, tapi semua harapan dan impiannya tentang masa depan mereka.

"Dia lebih cantik, lebih pintar, dan tahu bag*imana membuatku bahagia," Aji melanjutkan, kini tersenyum sinis, puas melihat Raline terluka. "Apa yang bisa kau lakukan? Kau cuma beban!"

Raline mengepalkan tangannya, urat-uratnya menegang. Kukunya hampir menembus kulit telapak tangannya. Setiap kata yang keluar dari mulut Aji seolah racun yang menggerogoti dirinya dari dalam. Ia mencoba mencari sisa-sisa cinta di manik mata suaminya. Tak ada! Yang ada hanya kemarahan, kebencian, serta penghinaan.

"Aku... selalu mendukungmu, Mas." Suara Raline bergetar. Ia tak meminta banyak, hanya ingin suaminya menyadari pengorbanannya. Cintanya. Kesetiaannya. Tapi, Aji malah tertawa kecil, tawa mengejek yang mencab!k-ca bik sisa martabatnya.

"Mendukung?" bantah Aji. "Kau pikir itu cukup?" Aji menyering*i, menghentikan langkah hanya untuk menvsuk lebih dalam. "Kau cuma istri bo d0h yang tak tahu apa-apa. Hidup ini lebih dari sekadar menunggu nasib, Raline!"

Raline mendongak, menatap Aji yang tanpa belas kasih mengatakan itu. Dara hnya mendid!h. Bibirnya bergetar. Bukan karena ketakutan, tapi karena kemarahan yang tak terbendung.

"Kau pikir aku tak pernah berjuang untukmu, Mas?!" Suaranya kini tegas, menggelegar dengan kekuatan yang lahir dari luka yang membara.

"Ketika usahamu nyaris bangkrut, siapa yang mengorbankan segalanya? Aku!"

"Cih!" Aji berdecih sinis. "Jangan sok berkorban. Bagiku, kau cuma istri bodoh yang tak berguna! Lihat dirimu; kusam, kucel, seperti pembantu saja."

Mata Raline terbelalak.

"Aku muak dengan baumu yang seperti ikan asin itu. Aku sudah menemukan wanita yang selalu cantik, menarik, dan tahu bag*imana menggugah g*i rahku."

“Jadi, inikah alasanmu jarang p**ang, Mas?” tanya Raline dengan suara bergetar, menahan perih yang menyay at hatinya.

“Ya!” jawab Aji tanpa ragu, seakan tak peduli pada rasa sakit yang jelas terpancar dari mata istrinya. “Apa lagi?”

Raline menarik napas dalam, berusaha meredam amarah yang meluap. “Uwangku, tenagaku, waktuku—kau kira itu datang begitu saja? Aku yang menjadi tameng ketika kamu hampir tenggelam, Mas! Saat perusahaanmu di ambang kehancuran, siapa yang ada di belakangmu? Aku!” Kata-katanya menggema, melukai dirinya sendiri lebih dalam.

Aji hanya menatapnya dengan dingin, seperti tak terpengaruh. “Omong kosong!" bantah Aji. "Kau tak punya bukti!”

Raline berdiri perlahan, wajahnya kini tak lagi menyiratkan kelembutan. Matanya menyala penuh kemarahan yang terpendam.

"Kau tak butuh bukti, Aji Prakosa, karena selama ini aku tak pernah meminta pengakuan darimu atau dari siapa pun! Tapi sekarang... sekarang aku sadar, kau tak layak mendapatkannya. Kau memilih wanita lain hanya karena dia lebih kaya? Kau kira dia pantas bersanding denganku? Tidak! Kau akan menyesal, Aji Prakosa. Percayalah, kau akan menyesal!"

PLAK!

Tamparan keras Aji menghantam p**i Raline, membuatnya terhuyung dengan tempurung kepala yang merasakan betul sakitnya. Rasa sakit itu menjalar bukan hanya di kulit, tapi sampai ke hatinya, mero bek segala perasaan yang pernah ada. Tak percaya, Raline menatap pria yang dulu begitu ia cintai.

"Kau, sudah matikah rasa cintamu untukku?" tanya Raline marah.

"Ya! Dan sayangnya kau memang tak-"

Tiba-tiba pintu terbuka, memperlihatkan sosok wanita cantik, seksi, yang begitu sangat menggugah g*i_rah Aji hingga Aji tak melanjutkan kata-katanya, memilih menatap hangat wanita itu, menyambutnya dengan senyum termanisnya. Sedangkan Raline pun menatapnya dengan sepenuh perasaan benci yang menjalar.

Dia--Mita--wanita yang selama ini menjadi benalu dalam hidupnya. Bersikap bak bunglon dengan segala rupa, manis di depan busuk di belakang. Raline benar-benar tak menyangka, wajah Mita dipenuhi senyum sinis, puas dengan kehancuran yang ia saksikan.

“Maaf, Raline,” suaranya pun terdengar menusvk. “Tapi Aji sudah bersamaku sekarang. Kau hanyalah masa lalu. Dia sangat mencintaiku.” Mita melingkarkan lengannya di lengan Aji, seolah mempertegas kemenangan kecilnya.

Da rah Raline mendidih. Tubvhnya bergetar saking tak kuatnya menahan lonjakan amarah yang seperti magma, siap mele dak! Dia menatap Mita dengan jijik, penuh rasa muak yang tak tertahankan. Bibirnya melengkung, tapi bukan dalam senyuman, melainkan ejekan yang tajam.

“Cinta?” Raline berdecih. “Kau tidak tahu apa itu cinta perempuan murahan! Apa yang kalian miliki hanyalah kerakusan dan keserakahan!”

Plak!

Kali ini, Mita yang menampar Raline, membuat tubuh Raline goyah.

Goyah? Bangkit!

Plak!

Raline menampar balik Mita. Berbeda dengan sebelumnya, Raline tak takut. Ia tak lagi mampu mengendalikan dirinya, memandang Mita yang marah dan mengadu kepada Aji.

“Dasar wanita mura_han! Kau berani melakukan ini padaku? Lihat dia, Mas! Dia sok berani melawanku!” adu Mita dengan tatapan penuh kebencian.

"Apa yang kau lakukan padanya, Raline?" Aji Marah.

"Seharusnya aku yang bertanya, apa yang kalian lakukan di belakangku?"

"Hahahaha!" Mita tertawa. “Kau mau tahu apa yang kami lakukan di belakangmu? Lihatlah! Semua ini nyata, bukan sekadar ilusi belaka. Buka matamu! Akulah pemenangnya sekarang. Aku, Mita Sudono, dan Aji adalah masa depanku.”

Aji menatap Mita dengan bangga, sementara Raline hanya tersenyum tipis. Tangannya menyeka da rah di sudut bibirnya, bukan karena ia merasa kalah, tetapi karena ia tahu lebih banyak daripada yang mereka bayangkan.

“Jika masa depan kalian dibangun di atas kebohongan dan penghinaan, maka aku bersyukur tidak menjadi bagian darinya,” ucap Raline tegas, sama sekali tak mau meratapi nasib yang terlalu menyedihkan ini. Lebih baik bangkit! Tak ada guna mengharap pada laki-laki breng sek yang sudah jelas-jelas mengikrarkan talak demi wanita lain. Kehormatannya lebih penting daripada itu.

Raline berbalik, berjalan menuju pintu. Setiap langkahnya penuh martabat. Tanpa sedikit pun menoleh, ia berhenti sejenak di ambang pintu. “Kalian mungkin meren.dahkanku hari ini, tapi ingatlah satu hal, aku tidak pernah kalah!" ucapnya meyakinkan.

Hal itu justru memantik perasaan lain di dalam diri Mita. Raline yang dianggap lemah dan sudah pasti akan meratap, ternyata bertingkah jauh di luar prediksinya.

Mita, yang tak bisa menerima kata-kata itu dengan cepat mengejar. “Dasar kau perempuan renda han!” teriaknya sambil menjam bak rambut Raline, menariknya kasar.

***

"Suami TERCINTA dan Pelakor Selingkuhannya berbuat sedemikian rupa? Mereka pikir Raline LEMAH? Tunggu sampai mereka tahu apa yang akan RALINE LAKUKAN! 💥🔥"

📖 Judul: Kumis Kinkan Mantan Suami & Selingkuhannya
✍️ Penulis: Aisy Luqman
📲 Baca di KBM App sekarang! Saksikan bag*imana Raline bangkit menjadi wanita yang TIDAK BISA DIKALAHKAN!

➡️ Yuk ke KBM. Siapkan diri kalian untuk BAB yang MENGGELEGAR!

Address

Wlingi

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Nurisa Purwito posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Contact The Practice

Send a message to Nurisa Purwito:

Share