
11/06/2025
BAGAIMANA RASANYA MENGGANTIKAN KAKAK KANDUNGMU MENIKAH DENGAN ORANG YANG KAMU SUKAI?
***
Bab 3: Cinta Pertama
Orang bilang, cinta pertama jarang menjadi yang terakhir.
Tapi bagi Reynard, Maya adalah segalanya. Awal. Tengah. Akhir. Dia perempuan yang sudah membuatnya jatuh hati.
Sejak kecil mereka sering bermain bersama saat bertemu di ulang tahun atau acara lainnya. Saat SMA ia mulai tahu kalau mereka berdua dijodohkan. Awalnya ia tak terlalu peduli dengan perjodohan itu, tapi lambat laun gadis itu mulai mencuri hatinya.
Kenangan itu masih terekam tajam—seperti kaset tua yang terus diputar ulang di kepalanya.
Maya berdiri di tengah lapangan basket, mengenakan seragam putih abu-abu. Rambutnya dikuncir kuda, p**inya merona, dan senyum kecil di bibirnya berhasil membuat Reynard yang sedang bermain kehilangan bola.
“Offside, bro,” teriak Evan, teman satu timnya.
Tapi Reynard tak mendengar. Pandangannya tak pernah lepas dari Maya, yang saat itu sedang tertawa sambil menggigit ujung sedotan minuman jus jambu.
Perlahan tapi pasti, setelah tiga bulan pendekatan, Reynard akhirnya menyatakan cinta. Sejak saat itu, mereka tak terpisahkan.
Reynard mengantar Maya ke mana pun. Dari tempat les, salon, bahkan ke undangan pernikahan sepupu Maya yang ia sendiri tak kenal. Ia rela duduk berjam-jam menunggu Maya mencoba dress di butik.
Dan ketika Maya masuk ke dunia modeling, Reynard adalah orang pertama yang membantunya membangun portofolio—memotret, menyemangati, bahkan menjadi asisten dadakan.
Dia bangga. Maya cantik, percaya diri, ambisius. Seperti bintang yang terus memanjat langit, dan Reynard adalah gravitasi yang bersedia tetap di bawah untuk memastikan Maya tidak jatuh.
Suatu malam, setahun lalu, di rooftop sebuah hotel tempat Maya menginap untuk pemotretan, Reynard memberanikan diri melamar.
Ia membawa cincin kecil, tidak mewah, tapi cukup untuk menunjukkan keseriusannya.
“Aku tahu kariermu masih panjang. Tapi aku nggak akan ganggu. Aku cuma ingin kita saling menunggu. Nanti, kalau kamu sudah siap... kita nikah,” katanya waktu itu, dengan tangan sedikit gemetar.
Maya tersenyum, mencium p**i Reynard, lalu berbisik, “Aku belum siap sekarang... Tapi suatu saat nanti, kalau aku menikah, aku ingin itu dengan kamu.”
Paris.
Kota impian para perancang dan model. Dan untuk Maya, Paris adalah puncak dari segala ambisi yang ia rajut sejak remaja—sejak pertama kali kakinya melangkah ke runway kecil di mall kota.
Selama berbulan-bulan, ia mempersiapkan segalanya. Portofolio, pelatihan, bahkan diet ketat. Tawaran dari agensi di Paris—meski masih tahap audisi—sudah cukup membuatnya berani menunda pernikahan. Menunda Reynard.
Tapi semua tak selalu berjalan seperti yang dibayangkan.
Tiga bulan setelah keberangkatannya ke Paris, Maya menghubungi Reynard dari kamar hotelnya. Suaranya serak, pelan, seperti orang yang baru saja kehilangan mimpi.
"Aku nggak keterima, Rey," katanya pelan.
Reynard terdiam, tak langsung menjawab. Ia bisa mendengar embusan napas Maya di seberang telepon, dan juga tangis kecil yang ditahan.
"Aku... mereka bilang aku nggak sesuai citra agensi mereka. Kurang unik. Terlalu biasa. Aku habis-habisan buat ini, Rey..." Suara Maya pecah. "Aku ngerasa gagal."
Reynard menarik napas dalam-dalam. Ada bagian dalam dirinya yang ingin bilang, “Sudah kubilang.” Tapi dia tidak. Reynard bukan pria yang mencari kemenangan dalam kegagalan orang yang dicintainya.
Sebaliknya, ia berkata, “Kamu nggak gagal, May. Kamu cuma... sedang diarahkan ke tempat lain. Dan mungkin, tempat itu ada di sini. Sama aku.”
Beberapa hari kemudian, Maya p**ang. Wajahnya lebih tenang, meski masih terlihat bekas kecewa.
Reynard datang menemui Maya langsung, membawa satu kotak kecil di tangan.
Saat membuka kotaknya, Maya menemukan cincin lamaran yang dulu pernah ingin Reynard berikan—yang saat itu Maya tolak dengan senyum pelan.
Kini, cincin itu kembali padanya.
"Aku siap, Rey," ucap Maya lirih. "Kalau kamu masih mau nikahin aku, aku siap sekarang."
Reynard tertegun.
Detik itu juga, dunia seperti berhenti berputar.
Dia menatap perempuan yang selama ini menjadi pusat doanya, harapannya, dan kesetiaannya. Dan kini, Maya kembali. Membawa dirinya, hatinya, dan harapan baru.
Tanpa pikir panjang, Reynard memeluknya. Lama. Erat. Seakan ingin memastikan bahwa kali ini Maya benar-benar tinggal.
"Aku nggak pernah berhenti nunggu," bisiknya di telinga Maya.
Untuk pertama kalinya, Reynard merasa semua pengorbanan selama ini tidak sia-sia.
Perempuan yang ia cinta, akhirnya memilih tinggal.
Dan malam itu, langit tampak lebih bersih dari biasanya. Bahkan bintang pun seperti ikut merayakan kembalinya Maya ke dalam pelukan Reynard.
Dua hari menjelang pernikahan.
Gaun sudah dijahit. Undangan telah disebar. Gedung, katering, dekorasi—semuanya siap. Bahkan seserahan telah ditata rapi di kamar Maya, berdampingan dengan sepatu hak tinggi dan kotak perhiasan berlapis beludru merah marun.
Maya duduk di tepi ranjang, menatap ponselnya dengan tangan gemetar. Layar menampilkan surel dari Paris.
Subject: URGENT – Replacement Model Needed
Isi pesannya singkat namun menghantam keras:
“One of our runway models suffered a sudden injury. You are shortlisted and approved for immediate replacement. We’re offering a 3-month contract with possible extension. If you can arrive in Paris within 48 hours, we’ll proceed with arrangements.”
Udara di sekitar Maya terasa sesak.
Matanya berpindah dari layar ke cermin besar di hadapannya. Di sana, ia melihat bayangan seorang perempuan yang selama ini hidup dalam ambisi dan keraguan. Bayangan seorang calon pengantin... dan sekaligus calon model Paris Fashion Week.
Pilihan yang tidak mungkin dijalani bersamaan.
Ia meraih telepon, jari-jarinya ragu. Ia sempat membuka kontak Reynard, lalu menghapusnya.
"Aku harus memilih hidupku sendiri... Maaf Rey," bisiknya pada dirinya sendiri.
---
Judul: Menantu Cadangan
Oleh: Nurisa Purwito
Baca selengkapnya di aplikasi KBM