13/09/2017
Dari status teman Dr. Swanty, SpA untuk direnungkan agar kita semua (dokter,pasien, netizen) lebih bijak dalam menyikapi sesuatu.
Dr. Swanty Chunnaedy, SpA
Kasus Debora lagi viral-viralnya di media sosial. Tiba-tiba caci maki masyarakat semakin menjadi. Rupanya sudah jadi budaya ya.. latah ikut mencaci tanpa mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya. Hanya mendengar berita satu arah, sehingga kecenderungan berpihak.
Eh, dulu saya juga begitu, dan masih sering begitu. Untung ada suami yg selalu mengingatkan.
Teman, mari sejenak kita bermain peran.
1. Berperanlah sebagai pasien.
Wow, pasti sedih sekali mempunyai anak sakit berat. Dan pasti panik, karena saat anak berjuang melawan sakit kritisnya, kita masih harus mengurus administrasi, memutar otak mencari uang. Dan saat ditolak oleh pihak rs, yang terpikir adalah gimana caranya tetap masuk rs tersebut.. nah, kondisi panik ini membuat keluarga pasien sering kali tidak dapat menerima informasi secara utuh dari tenaga medis atau administrasi, sehingga sisi emosi yang akan tersentil, gampang marah deh..
Bener ga?
2. Berperanlah sebagi tenaga medis.
Saat ada pasien kritis datang, adrenalin tenaga medis pasti akan melonjak. Kita akan cenderung berjuang mati-matian supaya pasien hidup. Sedih loh kalau usaha kita gagal... apa yang bisa dikerjakan di IGD untuk menstabilkan pasien pasti sudah kita kerjakan.
Tapi pada akhirnya harus berbenturan dengan sistem kan... saat ada pasien difteri datang, antidifteri sedang tidak ada; mau pasang alat, alatnya sedang dipakai orang, mau masukin pasien ke ruangan ternyata ga ada tempat, dsb.
Oya, jadi tenaga medis juga serba salah loh...Saya punya pengalaman yah, waktu dokter umum dulu, ada pasien datang keracunan organofosfat. Pasien datang dalam kondisi buruk, tidak sadar.. pokoknya jelek banget. Saat itu saya tahu ICU kami sedang penuh. Yang terpikirkan adalah TOLONG PASIEN DULU!!
Saya langsung ambil tindakan ini-itu, sambil meminta admin mencarikan ICU di rs luar. Untungnya pasien ini dapat ICU luar.
Pasien sudah stabil dalam waktu singkat, dan siap dirujuk. Tibalah keluarga diminta mengurus administrasi. Jreeennng... habis 1 juta lebih... saya pun akhirnya dimarahi keluarga pasien, katanya di IGD cuma bentar kok bayarnya mahal. Saya pun spontan bilang,"saya gratiskan jasa medis saya ya pak!" Dan tagihan pun masih di atas 1 juta, karena kala itu jasa medis saya hanya 10 ribu... hihihi...
Jadi tenaga medis serba salah yah... mau menindak pasien kritis salah, ga menindak juga salah.. hayoooo baiknya gimana????
Oya, teman2 perlu tahu ya, tindakan yang paling penting untuk menyelamatkan pasien kritis adalah tindakan di IGD. Mau masuk NICU/PICU/ICU itu seharusnya menunggu pasien stabil untuk ditransfer. Jadi, tindakan terpenting adalah tindakan di IGD, bukan masuk PICU atau enggak. Pasien kritis baru akan masuk PICU setelah stabil yaaa... jadi tindakan kegawatan untuk mengatasi pasien kritis bukan di PICU, tapi yang terutama adalah di IGD. Masuk PICU tidak menjamin pasien bisa tertolong. Dalam hal kasus debora, pihak RS menyatakan sudah melakukan pertolongan maksimal di IGD, dan hal ini dibenarkan oleh dinas kesehatan dki jakarta.
Bener ga?
3. Berperanlah sebagai rumah sakit swasta.
Kita punya cita-cita yang tinggi: pingin menolong banyak pasien. Kita ambil pinjaman uang di bank, membangun sebuah rumah sakit, membeli alat medis yang mahalnya ujubuneng, rekrut tenaga medis, paramedis, adm, cleaning service, POS, ipSrs, gizi, farmasi, dan masih banyak lagi.
Untuk seorang pasien yang dirawat, kalau pasien mampu bayar, maka semuanya akan berjalan lancar. Karyawan bisa dibayar, obat, bahan habis pakai, makanan orang sakit, listrik, telepon, air, dll dan juga cicilan hutang ke bank bisa dibayar.
Satu orang pasien nunggak, masih oke. Tiba-tiba ada ratusan pasien nunggak, mulailah kita bingung. Bagaimana caranya membayar semua tagihan itu ya...
Teman, perlu diketahui, piutang RS biasanya sangat besar... tapi kan itu duit mati... kita ga bisa bayar obat dengan surat tunggakan pasien kan...
Kami pernah dan sering loh mengalami obat-obat penting ga bisa masuk RS krn Rs terlambat bayar ke pabrik obat. Gimana tuh rasanya?
Lain lagi halnya kalau RS swasta yg terima BPJS. Tarif BPJS per pasien itu sudah flat. Mau habisnya ratusan juta pun hanya akan dibayarkan sesuai tarifnya. Kami sering dapat kasus NICU yang menghabiskan biaya 32 juta, dibayar hanya 5 juta oleh BPJS. Kalau cuma 1 pasien masih oke.. lah kalo ratusan pasien gimana...?
Takut collapse ga sih RS kita?
4. Berperanlah sebagai BPJS.
Nah, jadi BPJS juga bingung loh. Uang BPJS itu dapatnya dari pemerintah dan urun rembuk masyarakat. Kalau masyarakat kebanyakan menunggak bayar BPJS, gimana BPJS juga ga collapse?
Saya baru aja ngobrol sama keluarga pasien. Dia dulu pas melahirkan harus operasi, pakai BPJS. Murah banget kan... saat itu dia hanya keluar uang 25 ribu untuk bayar premi BPJS karena ambil BPJS kelas 3 (jaman itu masih boleh ambil BPJS sendiri, ga harus satu KK ikut semua). Habis itu? Ga pernah bayar lagiiii!!! Nenek lo gondrong, mana ada operasi sectio caesar yang hanya seharga 25 ribu??? Kalau biaya SC anggaplah 7 juta, siapa yang bayar 7 juta kurang 25 ribu tadi?
Yang kayak gini ada berapa orang di indonesia? Ratusan? Ribuan? Jutaan boooo!!! Gimana ga ngap2an BPJS mau bayar klaim RS... sampai saat ini di RS kami BPJS baru bisa bayar klaim RS untuk pasien 3 bulan lalu loh... dulu jaman jamkesmas, kami pernah dibayar terlambat 1 tahun!
Nah, saat berperan sebagai BPJS, gimana caranya duit kita biar ga kehabisan? Tekan serendah-rendahnyanya yang harus dibayarkan ke RS. Tarif rendah, prosedur sangat ketat, dll. Yah pokoknya gimana caranya bertahan hidup deh..
Bener ga?
Teman,
Kalau kita bertukar peran, mungkin kita akan lebih memahami kesulitan masing-masing peran. Untuk kasus-kasus seperti debora ini, menurut saya solusi terbaik adalah: kalau punya BPJS, saat mau masuk RS, carilah RS yang bekerja sama dengan BPJS. Daerah situ kan ada RSUD cengkareng, atau RS hermina agar tidak mempersulit diri...
Nah, kalau ga punya BPJS, the best option adalah datang ke RS pemerintah. Pasti ga bakal ditanya DP.... Kalau pemikiran saya, RS pemerintah itu karyawannya digaji pemda, alat-alat dapat subsidi, pasti lebih longgar untuk bantu pasien miskin. RS pemerintah juga sering bantu pasien urus jamkesda kalau ga punya BPJS...
Dan untuk masyarakat awam, saran saya bayarlah BPJS sesuai kewajibannya. Hitung-hitung mencicil biaya RS yang pernah dipakai atau yang akan dipakai..
Dan saran saya yang lain, kalau mau mem-blow up kasus, dengarlah dari 2 belah pihak. Kalau hanya pemberitaan satu pihak, tidak berimbang, dan cenderung menyebarkan fitnah.
Jernihkan dulu pikiran sebelum membuat status di FB...
Bener ga?
(Tulisan diatas saya edit sedikit).