11/12/2022
Bonus demografi telah menjadikan kekuatan milenial dan Gen-Z untuk patut diperhitungkan dalam segala hal, mengingat dominasi generasi ini akan memengaruhi kondisi kehidupan nantinya. Tidak heran, banyak lembaga survei yang mencoba untuk membaca potensi mereka.
-
Kekuatan Politik Pemuda di Tengah Pertarungan Islam dan Demokrasi
https://muslimahnews.net/2022/12/10/15341/
-
Penulis: Zikra Asril
Muslimah News, RISALAH KEPEMUDAAN — Bonus demografi telah menjadikan kekuatan milenial dan Gen-Z untuk patut diperhitungkan dalam segala hal, mengingat dominasi generasi ini akan memengaruhi kondisi kehidupan nantinya. Tidak heran, banyak lembaga survei yang mencoba untuk membaca potensi mereka.
Salah satunya adalah Indikator Politik Indonesia (IPI) yang melakukan survei berjudul “Suara Anak Muda tentang Isu-Isu Sosial Politik Bangsa” (2021). Survei ini menggunakan metode random sampling dengan sampel sebanyak 1.200 responden berusia 17—21 tahun. Margin of error survei ini kurang lebih sebesar 2,9% pada tingkat kepercayaan 95%.
-
Anak Muda Menilai Demokrasi Telah Gagal?
-
Survei IPI tersebut menemukan bahwa 58,6% kalangan muda menilai pembangunan ekonomi lebih penting dari demokrasi. Ditambah lagi, sebanyak 40% anak muda menilai Indonesia menjadi kurang demokratis saat ini.
Kondisi ini membuktikan demokrasi secara fakta gagal memberikan kesejahteraan bagi masyarakat. Diperkuat dengan hasil 47,5% menilai keadaan ekonomi nasional sekarang buruk dan sangat buruk.
Sebanyak 64,7% anak muda menilai DPR, partai politik, atau politikus di Indonesia “tidak terlalu baik” atau “tidak baik sama sekali” dalam mewakili aspirasi masyarakat. Ini tentu tamparan keras bagi sistem demokrasi sebab ketiganya dianggap sebagai representasi suara rakyat.
Saat aspirasi rakyat tidak lagi menjadi suara yang dikumandangkan DPR dan partai politik, lantas apa yang masih diharapkan rakyat dari demokrasi?
-
Narasi Radikalisme Makin Ditinggalkan Generasi Muda
-
Ditemukan p**a, 49,4% anak muda menilai radikalisme merupakan persoalan “mendesak” dan “sangat mendesak” untuk segera ditangani pemerintah. Menariknya, nilai ini mengalami penurunan dari Survei Nasional (Susenas) Januari 2020 (58,3%). Ini menunjukkan narasi radikalisme sudah mulai ditinggalkan generasi muda.
Hal ini diperkuat temuan bahwa “persoalan radikalisme harus menjadi perhatian serius pemerintah karena mengancam kehidupan bermasyarakat di Indonesia”, juga mengalami penurunan, yaitu 41,6% yang sebelumnya pada Susenas Januari 2020 sebesar 56,3%.
Nilai pemerintah yang tidak adil terhadap umat Islam—radikalisme ditujukan kepada umat Islam saja—juga mengalami kenaikan, yakni 24,1% yang pada Susenas Januari 2020 sebesar 20,5%. Yang menonjol adalah 34.3% tidak menjawab, sebelumnya pada Susenas Januari 2020 sebesar 23,2%.
Ini menarik untuk ditelusuri karena tidak ada pertanyaan lain yang memiliki persentase di atas 20% untuk pilihan “tidak menjawab” selain pada isu radikalisme dan intoleransi keagamaan.
Dugaan terbesar adalah para responden mengalami kegalauan ketika menjawab isu ini. Di satu sisi keimanan mereka tidak mampu menolak kebenaran ajaran Islam, di sisi lain ada pihak yang menyudutkan Islam sebagai ajaran yang mengancam.
Temuan survei ini makin menunjukkan bahwa narasi radikalisme telah mulai disadari generasi muda sebagai upaya menyudutkan Islam dan umatnya. Tentu hal ini membawa harapan akan semangat generasi muda yang turut mendamba kemenangan Islam yang hanya tinggal menunggu waktu. Perlahan, tetapi pasti, generasi muda Islam makin nyata melihat kebohongan narasi propaganda yang selalu digulirkan musuh-musuh Islam.
Tidak ketinggalan, pertanyaan tentang penerapan syariat Islam dalam tataran negara pun diajukan. Ternyata, 52,9% memilih netral pada pertanyaan, “Apakah Indonesia harus diperintah sesuai hukum atau syariat Islam?”
Hasil netral ini tentu mengindikasikan anak muda bisa jadi setuju, bisa jadi tidak, tergantung kondisi. Namun, apabila dikaitkan dengan pertimbangan mereka dalam mengambil keputusan, dijumpai dari hasil survei bahwa 79,3% anak muda menjawab “cukup sering” dan “selalu/sangat sering” mempertimbangkan nilai agama ketika membuat keputusan penting bagi hidup mereka.
Tentu saja jawaban ini menunjukkan generasi muda menganggap agama sebagai faktor terpenting dalam kehidupannya. Walhasil, tidak mustahil yang lebih dominan di antara mereka bakal setuju apabila syariat Islam diterapkan.
Di pihak lain, bisa jadi mereka memilih netral sebagai pilihan aman karena khawatir atau takut akibat framing yang selalu dilekatkan pada syariat Islam.
-
Musuh Islam Tidak Akan Tinggal Diam
-
Tatkala kesadaran politik Islam generasi muda Islam mulai menggeliat, tentu saja musuh-musuh Islam tidak akan tinggal diam. Mereka bekerja terstruktur, sistematis, dan masif untuk terus membungkam kesadaran politik Islam kaum muslimin.
PBB sebagai corong untuk menyuntikkan ide-ide demokrasi dan kepentingan negara Barat akan selalu mengontrol negara anggotanya atas nama ratifikasi. Plan of action to prevent violent extremism merupakan propaganda AS yang diadopsi PBB untuk seluruh negara anggotanya.
Terdapat dua isu kritis kepemudaan dalam dokumen ini. Pertama, terdapat upaya untuk menjauhkan pemuda muslim dari pemahaman Islam yang benar. Kedua, terdapat upaya untuk membajak potensi pemuda muslim dalam rangka mempertahankan hegemoni Negara Barat. Keberpihakan rezim Jokowi dengan mengeluarkan Perpres 7/2021 tentang Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Ekstremisme (RAN-PE) adalah sikap tunduk terhadap skenario global ini.
Narasi radikalisme ini akan terus dikumandangkan untuk makin meningkatkan ketakutan generasi muda Islam terhadap ajaran Islam. Narasi radikalisme masih dipandang potensial untuk memengaruhi anak muda agar jauh dari pemahaman Islam yang kafah.
-
Waspadai Provokasi dan Serangan Pemikiran Kufur
-
Ketika anak muda melihat demokrasi telah gagal memberikan kesejahteraan dan mewakili aspirasi masyarakat, Islam menjadi pilihan yang harus diambil para pemuda akibat iman yang terpancar dalam hati dan pikiran mereka.
Tentu saja keimanan menjadi modal dasar untuk melahirkan kesadaran politik Islam. Kesadaran politik yang jernih dengan tidak mencampurkan Islam dengan pemikiran kufur, seperti pemikiran yang lahir dari sekularisme dan demokrasi. Begitu pun kesadaran politik yang tidak diboncengi kepentingan kekuasaan pribadi.
Oleh karena itu, pergerakan politik pemuda harus mewaspadai hal berikut ini. Pertama, provokasi dan intervensi kepentingan pribadi. Kedua, ide-ide yang yang bertentangan dengan hukum Allah, seperti arus opini kesetaraan gender yang digulirkan kaum feminis.
Gerakan pemuda harus jeli melihat strategi dan pilihan diksi yang mereka gunakan untuk mengecoh umat. Menteri PPPA pernah mengungkapkan bahwa diperlukan pengoreksian atas budaya patriarki yang telah mengakar dan berlaku secara turun-temurun. (Koran Jakarta, 20/3/2021). Pilihan diksi “patriarki” jelas ditujukan untuk menyerang syariat Islam tentang laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan.
Oleh karenanya, jangan sampai pemuda terkecoh terhadap pilihan kata ataupun narasi yang digaungkan di tengah perang pemikiran saat ini.
-
Islam Kafah Adalah Jalan Baru Anak Muda
-
Survei IPI di atas menunjukkan bahwa hal terpenting bagi anak muda adalah terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Islam memiliki sistem politik dan ekonomi yang bisa mewujudkan harapan tersebut, insyaallah.
Untuk meraih itu semua, tentu saja generasi muda Islam harus berjuang mengembalikan kehidupan Islam kafah dalam naungan sistem pemerintahan Islam yang akan menerapkan sistem politik ekonomi tersebut.
Sekaranglah saatnya anak muda meninggalkan pemikiran kufur dan batil yang telah memengaruhinya. Kaji, pahami, dan terapkan pemikiran Islam yang hanya lahir dari dalil syariat.
Sampaikan dakwah Islam ke seluruh komunitas masyarakat tanpa rasa takut dan gentar. Orang beriman akan meyakini bahwa Allah selalu melindungi dan memberikan kekuatan. Sesungguhnya, hanya Islam kafah yang akan membawa generasi muda selamat dunia dan akhirat. [MNews/Gz]