Griya Hipnoterapi Boyolali

Griya Hipnoterapi Boyolali Jasa klinik hipnoterapi di boyolali solo raya sekitarnya yang telah terdaftar di dinas kesehatan.

19/07/2025

Zona Nyaman Itu Tidak Salah: Perspektif Trauma-Informed
“Don’t push people to grow. Help them feel safe enough to want to.”
— Dr. Gabor Maté

Apa Itu Zona Nyaman?

Istilah zona nyaman sering dipakai untuk menggambarkan keadaan di mana seseorang merasa aman, stabil, dan terhindar dari risiko. Dalam dunia pengembangan diri, zona ini sering dianggap sebagai “musuh pertumbuhan” karena di dalamnya tidak ada tantangan atau perubahan.

Namun dari kacamata trauma-informed, zona nyaman bukanlah kesalahan atau kelemahan, melainkan strategi bertahan hidup yang dibentuk oleh sistem saraf untuk menciptakan rasa aman.

Zona Nyaman = Zona Aman Versi Sistem Saraf

Menurut Polyvagal Theory (Stephen Porges, 1994), sistem saraf otonom kita merespons lingkungan berdasarkan rasa aman atau ancaman. Saat seseorang merasa terancam—meskipun ancaman itu hanya dalam bentuk stres ringan atau kritik sosial—sistem saraf bisa memasuki mode:

Fight / Flight (mobilisasi)

Freeze / Shutdown (dorsal vagal)

Fawn (people pleasing, sering muncul pada trauma relasional)

“Zona nyaman” dalam konteks ini bukan hanya zona malas atau stagnan, tetapi seringkali adalah “zona toleransi aman” yang dibentuk untuk menjaga diri dari dis-regulasi emosi atau ancaman psikologis.

🧠 Catatan: Tubuh kita lebih memilih rasa familiar daripada rasa benar. Itulah kenapa banyak orang “betah” di pola lama, bahkan jika itu menyakitkan — karena itu dikenal dan bisa diprediksi.

🔸 Bahaya Memaksa Keluar dari Zona Nyaman
Slogan seperti “Keluar dari zona nyaman adalah awal kesuksesan” bisa jadi memotivasi, tapi juga berisiko. Terutama bagi orang-orang dengan trauma masa lalu, luka pengasuhan, atau sistem saraf yang sering dalam kondisi hyper/hypo-arousal.

Jika dipaksa berubah tanpa regulasi yang cukup:

Sistem saraf bisa collapse (shutdown)

Kecemasan makin tinggi

Muncul rasa bersalah karena “gagal berubah”

Memperkuat belief negatif seperti “aku memang lemah”

⚠️ “Pushing too far outside the window of tolerance can retraumatize instead of heal.” — Dr. Dan Siegel

🔸 Pendekatan yang Lebih Bijak: Memperluas Zona Nyaman
Daripada keluar dari zona nyaman secara mendadak, pendekatan trauma-informed lebih memilih untuk:

Memperluas zona nyaman secara perlahan (mirip dengan titration dalam Somatic Experiencing – Peter Levine)

Membantu sistem saraf merasa cukup aman dalam menghadapi pengalaman baru

Mengembangkan regulasi emosi dan kehadiran tubuh sebagai dasar perubahan

Membangun ventral vagal state (rasa koneksi, aman, tenang) terlebih dahulu

Dengan begitu, perubahan terjadi dari dalam — bukan karena dorongan atau paksaan, tapi karena tubuh dan pikiran mulai siap untuk mengalami hal baru.

🔸 Kesimpulan
“Zona nyaman itu bukan musuh. Ia adalah rumah sementara yang dibangun tubuh untuk melindungi kita.”
Tugas kita bukan memaksa keluar, tapi menguatkan fondasi agar tubuh merasa aman untuk bergerak.

Dengan pendekatan trauma-informed, kita memahami bahwa pertumbuhan sejati terjadi bukan dari paksaan, tetapi dari rasa aman. Dan kadang, rasa aman itu harus dibangun lebih dulu—baru keberanian bisa tumbuh.

📚 Referensi
Porges, S. W. (2011). The Polyvagal Theory: Neurophysiological Foundations of Emotions, Attachment, Communication, and Self-regulation. W. W. Norton & Company.

Levine, P. A. (2010). In an Unspoken Voice: How the Body Releases Trauma and Restores Goodness. North Atlantic Books.

Siegel, D. J. (2012). The Developing Mind: How Relationships and the Brain Interact to Shape Who We Are.

Maté, G. (2019). When the Body Says No: Exploring the Stress-Disease Connection.

Ogden, P., Minton, K., & Pain, C. (2006). Trauma and the Body: A Sensorimotor Approach to Psychotherapy.

𝐌𝐞𝐧𝐠𝐞𝐧𝐚𝐥 𝐓𝐞𝐨𝐫𝐢 𝐏𝐨𝐥𝐢𝐯𝐚𝐠𝐮𝐬, 𝐏𝐢𝐤𝐢𝐫𝐚𝐧 𝐁𝐚𝐰𝐚𝐡 𝐒𝐚𝐝𝐚𝐫, 𝐝𝐚𝐧 𝐇𝐢𝐩𝐧𝐨𝐭𝐞𝐫𝐚𝐩𝐢 𝐊𝐥𝐢𝐧𝐢𝐬1. 𝑨𝒑𝒂 𝑰𝒕𝒖 𝑻𝒆𝒐𝒓𝒊 𝑷𝒐𝒍𝒊𝒗𝒂𝒈𝒖𝒔?Teori Polivagus diperken...
22/06/2025

𝐌𝐞𝐧𝐠𝐞𝐧𝐚𝐥 𝐓𝐞𝐨𝐫𝐢 𝐏𝐨𝐥𝐢𝐯𝐚𝐠𝐮𝐬, 𝐏𝐢𝐤𝐢𝐫𝐚𝐧 𝐁𝐚𝐰𝐚𝐡 𝐒𝐚𝐝𝐚𝐫, 𝐝𝐚𝐧 𝐇𝐢𝐩𝐧𝐨𝐭𝐞𝐫𝐚𝐩𝐢 𝐊𝐥𝐢𝐧𝐢𝐬

1. 𝑨𝒑𝒂 𝑰𝒕𝒖 𝑻𝒆𝒐𝒓𝒊 𝑷𝒐𝒍𝒊𝒗𝒂𝒈𝒖𝒔?

Teori Polivagus diperkenalkan oleh Stephen Porges untuk menjelaskan bagaimana sistem saraf kita merespons rasa aman atau ancaman. Intinya, sebelum kita menyadari sesuatu secara sadar, tubuh kita sudah lebih dulu "menilai" situasi lewat sinyal-sinyal dari dalam dan luar tubuh. Proses ini disebut **neurosepsi**.

2. 𝑵𝒆𝒖𝒓𝒐𝒔𝒆𝒑𝒔𝒊: 𝑷𝒆𝒎𝒊𝒏𝒅𝒂𝒊 𝑶𝒕𝒐𝒎𝒂𝒕𝒊𝒔 𝑻𝒖𝒃𝒖𝒉

Neurosepsi adalah cara sistem saraf kita menilai apakah situasi:

- 𝗔𝗺𝗮𝗻
- 𝗕𝗲𝗿𝗯𝗮𝗵𝗮𝘆𝗮
- 𝗠𝗲𝗻𝗴𝗮𝗻𝗰𝗮𝗺 𝗻𝘆𝗮𝘄𝗮

Semua ini terjadi 𝐭𝐚𝐧𝐩𝐚 𝐤𝐢𝐭𝐚 𝐬𝐚𝐝𝐚𝐫𝐢, bahkan sebelum pikiran sadar ikut terlibat. Proses ini sangat cepat, melibatkan bagian otak seperti amigdala dan insula, dan menghasilkan reaksi otomatis seperti:

- Perasaan nyaman
- Ketegangan
- Kecemasan tiba-tiba

Namun, trauma atau stres berat bisa menyebabkan sistem ini salah menilai—menganggap situasi biasa sebagai ancaman.

𝟑. 𝐒𝐢𝐬𝐭𝐞𝐦 𝐒𝐚𝐫𝐚𝐟 𝐎𝐭𝐨𝐧𝐨𝐦: 𝐓𝐢𝐠𝐚 𝐌𝐨𝐝𝐞 𝐔𝐭𝐚𝐦𝐚

Sistem saraf kita memiliki tiga jalur utama, bukan dua seperti yang diajarkan dulu:

| Mode | Nama | Fungsi |
| ------------------ | ------------- | --------------------------------- |
| 🟢 Aman | Ventral Vagus | Sosial, tenang, koneksi |
| 🟡 Bahaya | Simpatik | Lawan atau lari (fight or flight) |
| 🔴 Ancaman Ekstrem | Dorsal Vagus | Freeze, shutdown, mati rasa |

Ketiga mode ini bekerja seperti tangga. Jika merasa aman, kita di atas tangga (ventral vagus). Tapi kalau merasa terancam, kita turun ke mode bertahan (simpatik), atau paling bawah saat merasa tak berdaya (dorsal vagus).

𝟒. 𝐏𝐢𝐤𝐢𝐫𝐚𝐧 𝐁𝐚𝐰𝐚𝐡 𝐒𝐚𝐝𝐚𝐫: 𝐒𝐢𝐬𝐭𝐞𝐦 𝐎𝐩𝐞𝐫𝐚𝐬𝐢 𝐃𝐢𝐫𝐢 𝐊𝐢𝐭𝐚

Kita memiliki dua jenis pikiran:

- Pikiran Sadar (10%): logis, berpikir analitis, aktif saat sadar
- Pikiran Bawah Sadar (90%): menyimpan memori, kebiasaan, emosi, dan bertugas menjaga keselamatan

PBS adalah sistem utama yang memindai lingkungan dan menentukan apakah sesuatu aman atau berbahaya. Ia menyimpan semua pengalaman hidup, termasuk trauma, dan menggunakannya sebagai "referensi otomatis".

Contoh:

Jika di masa kecil digigit anjing, PBS akan otomatis merasa tidak nyaman setiap melihat anjing, meskipun tidak ada bahaya nyata.

𝟓. 𝐇𝐢𝐩𝐧𝐨𝐭𝐞𝐫𝐚𝐩𝐢 𝐊𝐥𝐢𝐧𝐢𝐬: 𝐌𝐞𝐧𝐲𝐞𝐦𝐛𝐮𝐡𝐤𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐃𝐚𝐥𝐚𝐦

Hipnoterapi bekerja dengan menonaktifkan fungsi pikiran sadar sementara, agar bisa langsung berkomunikasi dengan pikiran bawah sadar. Tujuannya adalah:

- Mengakses trauma lama
- Melepaskan emosi intens yang tertahan
- Mengubah makna dan respon otomatis terhadap situasi tertentu

Dengan begitu, sistem saraf bisa dikondisikan ulang agar lebih sering aktif di mode aman (ventral vagus), bukan terus-menerus siaga atau membeku.

𝟔. 𝐌𝐞𝐧𝐠𝐚𝐩𝐚 𝐈𝐧𝐢 𝐏𝐞𝐧𝐭𝐢𝐧𝐠?

Banyak orang tanpa sadar hidup dalam mode bertahan (fight-flight-freeze), bukan dalam mode aman. Akibatnya:

- Sulit merasa rileks
- Sulit terhubung dengan orang lain
- Emosi tidak stabil
- Rentan stres dan kelelahan

Dengan memahami teori Polivagus dan peran pikiran bawah sadar, kita bisa:

- Mengenali kapan sistem saraf kita tidak bekerja optimal
- Melatih diri keluar dari mode siaga
- Membangun rasa aman dari dalam

𝐊𝐞𝐬𝐢𝐦𝐩𝐮𝐥𝐚𝐧

Teori Polivagus membantu kita memahami bahwa rasa aman adalah kunci penyembuhan, bukan hanya soal fisik, tapi juga emosional. Hipnoterapi membantu mengakses memori bawah sadar dan memperbaiki pola lama yang tidak sehat. Saat trauma bisa dilepaskan, tubuh dan pikiran bisa kembali ke keseimbangan alaminya.

28/05/2025

Mengapa Menghindari Emosi Tidak Selalu Menyelesaikan Masalah: Pelajaran tentang Kontrol dan Kecemasan

Bayangkan Anda mengalami kecemasan saat berbicara di depan umum. Mungkin Anda mencoba menarik napas dalam-dalam, berpikir positif, atau meyakinkan diri bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tapi setelah beberapa kali mencoba, rasa cemas itu tetap datang—bahkan terkadang lebih kuat dari sebelumnya. Anda pun mulai berpikir: "Apa yang salah dengan saya? Kenapa ini tidak berhasil?"

Banyak dari kita diajarkan sejak kecil bahwa jika ada sesuatu yang tidak nyaman, tugas kita adalah menghilangkannya. Ini adalah naluri manusia yang sangat alami—menghindari rasa sakit dan mendekati rasa nyaman. Kita terbiasa menggunakan kontrol sebagai strategi utama untuk menyelesaikan masalah. Dan dalam banyak hal, kontrol memang berhasil.

Misalnya, jika kita tidak s**a warna cat kamar, kita bisa mengecat ulang. Jika kita tidak s**a pekerjaan kita, kita bisa mencari pekerjaan lain. Ini adalah bentuk kontrol yang sangat efektif karena berkaitan dengan dunia luar—dunia yang bisa kita ubah dengan tindakan fisik dan keputusan yang jelas.

Namun, bagaimana jika objek yang ingin kita ubah bukan dunia luar, melainkan dunia dalam: pikiran, perasaan, atau sensasi tubuh yang tidak kita inginkan?

Kontrol Bekerja untuk Dunia Luar, Tapi Belum Tentu untuk Dunia Dalam
Kontrol adalah upaya yang disengaja untuk mengatur, membatasi, atau mengarahkan sesuatu agar sesuai dengan keinginan kita. Dalam konteks fisik dan eksternal, kontrol bisa sangat bermanfaat. Misalnya:

Menghindari kecelakaan dengan berhenti saat melihat mobil melaju.

Menjaga kesehatan dengan makan sehat dan berolahraga.

Menghindari situasi berbahaya demi keselamatan.

Namun, ketika kontrol diarahkan ke pengalaman internal seperti emosi, pikiran, atau sensasi tubuh—hasilnya bisa berbalik arah. Kita mungkin mulai berjuang untuk menghilangkan rasa cemas, takut, sedih, atau pikiran yang tidak kita s**ai. Sayangnya, sering kali semakin kita berusaha menyingkirkan emosi tersebut, semakin kuat dan mengganggu mereka muncul.

Ketika Kontrol Menjadi Masalah
Kita ambil contoh Susan, seorang wanita yang pernah mengalami serangan panik saat mengemudi dan berbelok ke kanan. Sejak saat itu, dia bertekad untuk menghindari segala kemungkinan serangan panik. Caranya? Dia tidak lagi mau belok kanan saat menyetir. Awalnya ini memberikan rasa aman, tapi lama-kelamaan hidupnya menjadi sangat terbatas. Pergi ke tempat kerja pun harus direncanakan dengan matang, dan rute-rute spontan tidak lagi bisa dinikmati.

Dalam kasus lain, seorang pria yang mengalami panik memilih untuk berhenti bekerja dan tidak lagi keluar rumah. Tujuannya satu: menghindari kecemasan. Tapi harga yang dibayar sangat mahal—kehilangan kebebasan, hubungan sosial, dan kualitas hidup.

Dari luar, strategi ini tampak logis. Toh, jika sesuatu menyakitkan, wajar kita ingin menghindarinya. Tapi masalahnya adalah: kecemasan bukanlah luka di kulit yang bisa diberi plester. Kecemasan adalah bagian dari sistem peringatan alami tubuh kita. Menghindarinya tanpa memahami fungsinya justru memperkuat keyakinan bahwa kecemasan itu berbahaya dan harus dilawan.

Menerima Bukan Berarti Menyerah
Acceptance and Commitment Therapy (ACT) mengajarkan bahwa bukan emosi itu sendiri yang membuat hidup kita sulit, tapi perjuangan kita untuk menghilangkannya. Dalam ACT, tujuan utama bukan menghilangkan kecemasan, tapi membangun kehidupan yang bermakna meski kecemasan tetap ada. Alih-alih bertanya "Bagaimana cara menghilangkan rasa takut ini?", kita mulai bertanya: "Apa yang penting bagi saya meski rasa takut ini hadir?"

Menerima di sini bukan berarti menyerah pada penderitaan. Menerima berarti memberi ruang bagi pengalaman batin yang muncul, tanpa harus dikendalikan, ditolak, atau ditutup-tutupi. Ini adalah bentuk keberanian untuk tetap hadir dalam hidup meski tidak nyaman.

Penutup: Saatnya Beralih dari Kontrol ke Keterbukaan
Kontrol memang penting dan kadang sangat berguna. Tapi kita perlu jujur bahwa tidak semua hal bisa atau perlu dikendalikan. Kecemasan, rasa takut, pikiran negatif—semua ini adalah bagian dari pengalaman manusia yang wajar. Ketika kita berhenti memusuhi mereka, kita mulai memberi diri kita ruang untuk hidup lebih utuh.

Alih-alih berjuang melawan emosi, bagaimana jika kita belajar mendengarkan mereka?
Alih-alih memaksa diri untuk selalu merasa baik, bagaimana jika kita mulai bertanya: apa yang benar-benar penting bagi saya, dan bagaimana saya bisa melangkah ke sana, bahkan jika saya sedang takut?

Jika Anda seorang praktisi, calon klien, atau seseorang yang sedang berjuang dengan kecemasan, semoga artikel ini menjadi undangan untuk melihat pendekatan baru—bukan lewat perlawanan, tapi lewat penerimaan dan komitmen pada hal-hal yang benar-benar bermakna dalam hidup Anda.

27/05/2025

Mengubah Fokus: Dari Sekadar Redakan Gejala ke Menjalani Hidup yang Penuh Makna

Dalam terapi kognitif dan perilaku (CBT), tujuan yang paling sering dikejar adalah mengurangi gejala. Pendekatannya fokus pada hasil-hasil sempit atau narrowband outcomes, seperti:

Menurunkan intensitas kecemasan,

Mengurangi serangan panik,

Menghindari pemicu stres.

Ini bukan hal yang salah. Bahkan, banyak klien datang ke terapi dengan harapan bisa merasa lebih baik terlebih dahulu, karena mereka percaya:

“Saya harus merasa lebih baik dulu, baru bisa hidup lebih baik.”

Namun, untuk mencapai "merasa lebih baik" itu, klien biasanya harus menghadapi kecemasan dan ketakutan mereka secara langsung—baik lewat latihan eksposur imajinatif (di bayangan) atau langsung di kehidupan nyata (in vivo exposure).

Menariknya, banyak klien justru berhenti terapi pada tahap ini, karena rasa tidak nyamannya terlalu berat. Tapi studi terbaru menunjukkan bahwa konteks penerimaan dalam terapi bisa membantu mencegah dropout ini.

Ketika Tujuan Eksposur Dibingkai dengan Cara Berbeda
Dalam sebuah penelitian (Karekla & Forsyth, 2004), dibandingkan dua kelompok klien dengan gangguan panik:

Kelompok CBT standar (fokus pada mengendalikan serangan panik),

Kelompok CBT yang diperkaya dengan pendekatan ACT (fokus pada belajar mengalami panik tanpa harus menghindar).

Hasilnya:

Setelah diperkenalkan penjelasan tentang latihan eksposur, 5 orang di kelompok CBT berhenti terapi, sementara di kelompok ACT hanya 1 orang yang berhenti.

Bedanya terletak pada cara membingkai tujuan terapi:

CBT: supaya bisa mengontrol gejala panik,

ACT: supaya bisa tetap menjalani hidup bermakna meski panik itu ada.

Ketika Berhenti Mengontrol Justru Membuat Kita Lebih Kuat
Penelitian lain (Eifert & Heffner, 2003) juga menunjukkan hal serupa. Dalam studi terhadap perempuan dengan kecemasan tinggi:

20% peserta di kelompok yang fokus pada kontrol (menghindari rasa panik) menyerah dan keluar dari studi.

Tapi tidak satu pun peserta di kelompok penerimaan yang keluar.

Hasil ini menunjukkan sesuatu yang penting:

Ketika orang berhenti berusaha keras mengendalikan semua emosi, justru di situlah mereka mulai merasa lebih kuat dan berdaya.

ACT Fokus pada Broadband Outcomes: Hidup Sesuai Nilai, Bukan Sekadar Merasa Nyaman
ACT tetap membuka ruang bagi perbaikan gejala, tapi itu bukan tujuan utama terapi. Fokus utamanya adalah broadband outcomes, yaitu:

Membantu klien bergerak ke arah hidup yang bermakna bagi mereka,

Mendorong tindakan nyata yang sesuai dengan nilai-nilai pribadi.

Misalnya:

Seorang ibu ingin punya hubungan yang dalam dan hangat dengan anak-anaknya.
Tapi, usahanya untuk mengatur rasa cemas justru membuat dia menjauh dan menghindar.

Dalam pendekatan ACT, kita akan membantu si ibu mengidentifikasi dan melepaskan hambatan itu (seperti strategi emosi yang berlebihan), agar ia bisa benar-benar hadir dan terhubung dengan anak-anaknya. Apakah kecemasannya bisa berkurang? Bisa jadi, tapi itu bukan sasaran utama. Sasaran utamanya adalah hidup yang bermakna dan sesuai nilai.

Mengapa Ini Penting?
ACT berusaha membantu manusia menjadi versi terbaik dirinya—yang tidak dikendalikan oleh kecemasan, tapi tetap bisa:

Mencintai dan dicintai,

Menyelesaikan hal penting meskipun takut,

Menjalani hidup dengan penuh keberanian dan komitmen.

Dengan begitu, terapi ACT menjadi lebih bermakna. Tidak lagi sekadar tentang “merasa nyaman”, tapi tentang menjadi utuh dan hidup sepenuhnya, walau kadang tetap disertai rasa cemas, takut, atau tidak yakin.

26/05/2025

Ketika Mengatur Emosi Justru Membuat Kita Terjebak

Dalam dunia psikologi, banyak ahli sepakat bahwa mengatur emosi adalah bagian penting dari kemampuan manusia untuk bertahan dan beradaptasi. Tapi, dalam kondisi tertentu, cara kita mengatur emosi bisa berbalik menjadi masalah (Gross, 2002).

Misalnya, banyak orang yang mengalami gangguan kecemasan dianggap:

* Tidak punya keterampilan pengaturan emosi yang memadai, atau
* Menggunakan strategi yang **justru memperburuk keadaan**, seperti menghindar, melarikan diri, menekan emosi, atau menahan diri.

Dari sudut pandang ini, terapi biasanya diarahkan untuk **mengganti strategi yang tidak sehat** dengan strategi lain yang dianggap lebih efektif. Contohnya:

* Mengganti ketegangan dengan relaksasi,
* Mengganti pikiran yang “katastrofik” dengan pikiran yang lebih realistis.

Hampir semua terapi kognitif dan perilaku berjalan seperti ini — fokusnya adalah **mengubah isi pikiran atau perasaan** yang dianggap salah atau tidak sehat.

Tapi pendekatan **Acceptance and Commitment Therapy (ACT)** berbeda.

# # # **Masalahnya Bukan di Emosinya, Tapi di Upaya Mengaturnya**

Dalam pandangan ACT, justru **usaha untuk mengatur emosi** itulah yang sering membuat orang terjebak.

Mengatur emosi menjadi masalah ketika:

* Usaha itu **tidak berhasil atau tidak relevan** dengan situasi sebenarnya,
* Kita percaya bahwa **"saya seharusnya tidak merasakan atau memikirkan ini."**

Keyakinan seperti itu membuat orang merasa mereka **tidak bisa bertindak** sebelum pikirannya berubah dulu atau emosinya tenang dulu. Misalnya:

> “Saya baru bisa melakukan ini kalau rasa cemas saya hilang dulu.”
> “Saya harus tenang dulu, baru bisa ngomong.”
> “Saya harus yakin dulu, baru bisa melangkah.”

Akhirnya, hidup mereka hanya berputar di sekitar **usaha mengatur kecemasan**, bukannya melakukan hal-hal yang **sebenarnya penting** dan bermakna.

Inilah mengapa orang dengan gangguan kecemasan sering disebut mengalami **“fobia terhadap pengalaman batiniah”**. Mereka bukan hanya takut akan situasi tertentu, tapi juga takut dengan isi pikirannya sendiri, sensasi tubuhnya, atau kenangan buruk dari masa lalu.

# # # **ACT Tidak Menghilangkan Emosi—Tapi Mengubah Hubungan Kita dengan Emosi**

ACT tidak mencoba memaksa emosi hilang atau dikendalikan secara kaku.
Sebaliknya, ACT mengajarkan **keluwesan psikologis**—yaitu:

* Mau merasakan,
* Terbuka pada pengalaman, dan
* Tetap bertindak **sesuai nilai dan tujuan hidup**, meskipun emosi itu ada.

Ketika seseorang **tidak lagi terobsesi mengatur emosinya**, mereka mulai bisa **mengatur hidupnya**—mengambil tindakan nyata yang berarti. Ironisnya, saat kita **menerima emosi** apa adanya, kita justru menjadi lebih bebas untuk hidup.

Dengan kata lain:

> Kita tidak perlu menunggu sampai rasa cemas hilang untuk menjalani hidup yang kita inginkan.

ACT membantu klien **membawa serta** kecemasan, kenangan, rasa tidak nyaman, dan pikiran aneh ke dalam hidup mereka—bukan untuk melawan atau membuangnya, tapi **untuk tetap melangkah maju dengan nilai yang jelas**.

25/05/2025

Menggunakan Teknik CBT dalam Konteks ACT

ACT dan CBT memiliki banyak perbedaan dalam filosofi dan pendekatan terhadap penderitaan manusia. Perbedaan-perbedaan ini akan terlihat semakin jelas seiring kamu mempelajari lebih jauh. Namun, penting untuk diketahui bahwa ACT tidak menolak semua teknik CBT.

“Kami tidak membuang sesuatu bersama air mandinya.”

Artinya, ACT tetap mengakui manfaat dari banyak intervensi CBT, terutama untuk gangguan kecemasan. Mengabaikan teknik-teknik CBT yang telah terbukti secara ilmiah efektif akan menjadi sebuah kesalahan.

Misalnya, teknik-teknik seperti:

Eksposur (exposure),

Pencegahan respons (response prevention),
..sangat berguna karena mengajak klien melakukan kebalikan dari naluri mereka dalam menghadapi kecemasan. Naluri umum ketika cemas adalah menghindar. Tapi teknik CBT mengajak klien untuk justru mendekati dan menghadapi.

Ini penting karena:

Klien jadi mengalami sendiri bahwa menghindar tidak lagi dibutuhkan,

Dan tidak memberikan manfaat adaptif yang nyata.

Bisa jadi, dari sinilah terjadi proses extinction (pemudaran rasa takut), karena seiring waktu perilaku menghadapi mulai menggantikan perilaku menghindar.

Inilah alasannya mengapa teknik seperti eksposur juga digunakan dalam ACT.

Namun, Cara ACT Melakukannya Sangat Berbeda
Meskipun tekniknya mirip, cara penggunaannya dalam ACT terasa berbeda.

Dalam ACT, hampir semua teknik eksposur dibingkai ulang dalam konteks:

Penerimaan, dan

Penguasaan dalam mengalami emosi, bukan mengendalikannya.

Kami tidak terlalu banyak bicara soal gejala, karena:

Pikiran dan perasaan cemas bukanlah gejala penyakit,
Tapi bagian alami dari pengalaman manusia.

Masalahnya bukan pada isi pikiran atau perasaannya, tapi cara klien merespons pengalaman tersebut—seolah mereka sedang menaruh tangan di atas kompor panas.

Tujuan utama dari pendekatan ini adalah:

Mengubah cara klien merespons pengalaman emosional dan psikologis mereka,

Bukan mengubah isi pikiran atau menghilangkan emosi itu.

Dengan begitu, kita membantu mereka:

Memberi ruang bagi emosi yang sulit,

Sambil membuka jalan psikologis dan perilaku untuk bergerak ke arah hidup yang sesuai dengan nilai-nilai pribadi mereka.

Rangkuman Konsep Utama
Bab ini dimulai dengan gambaran besar tentang terapi perilaku generasi pertama dan kedua:

Generasi pertama: mengandalkan kondisioning klasik sebagai model gangguan kecemasan,

Generasi kedua (CBT): fokus pada konten pikiran dan emosi yang bermasalah.

Namun ACT membawa kita pada cara pandang baru, dalam kerangka teoritis dan filosofis yang koheren. ACT menunjukkan bagaimana bahasa dan pikiran bisa menjebak klien dalam upaya sia-sia untuk berperang melawan diri mereka sendiri.

Perang ini pada dasarnya adalah bentuk regulasi emosi yang tidak efektif,
Dilakukan di konteks di mana upaya tersebut justru tidak perlu.

Jadi, bukan rasa takut atau cemasnya yang jadi masalah,
melainkan:

Usaha mengontrol, menekan, menghindar, atau melarikan diri dari emosi itulah yang membuat segalanya jadi lebih sulit.

ACT membantu klien melepaskan cengkeraman pengaturan emosi yang kaku, dan memperkenalkan pendekatan berbeda melalui:

Metafora, paradoks, dan latihan pengalaman langsung,
untuk membantu klien:

Menghubungkan kembali dengan pikiran, perasaan, ingatan, dan sensasi tubuh yang selama ini dihindari,

Menerima dan memahami pengalaman batin mereka,

Menemukan kembali nilai-nilai pribadi, dan

Berkomitmen pada perubahan nyata, lalu menjalankan komitmen itu dalam kehidupan sehari-hari.

Takut vs. Cemas: Memahami Fungsi Emosional dalam Gangguan Kecemasan“When you change the way you look at things, the thin...
22/05/2025

Takut vs. Cemas: Memahami Fungsi Emosional dalam Gangguan Kecemasan
“When you change the way you look at things, the things you look at change.” —Wayne Dyer

Gangguan kecemasan bukan hanya sekadar kumpulan gejala—mereka adalah pola hubungan yang kompleks antara individu dengan pengalaman internalnya. Dalam pendekatan modern seperti ACT (Acceptance and Commitment Therapy), yang lebih menyoroti proses ketimbang label diagnostik, penting bagi kita untuk memahami dinamika mendasar dari rasa takut (fear) dan kecemasan (anxiety) sebelum kita melangkah ke arah intervensi yang transformatif.

Takut: Emosi Dasar yang Berorientasi Saat Ini
Takut adalah respon emosional terhadap ancaman yang nyata atau yang dirasakan nyata, dan terjadi dalam waktu kini. Misalnya, ketika seseorang menghadapi anjing galak atau tubuhnya bereaksi terhadap sensasi jantung berdebar karena memori akan serangan panik sebelumnya, maka sistem saraf simpatik langsung aktif: jantung berdebar, napas cepat, tekanan darah meningkat. Reaksi ini sangat adaptif, karena ia memfasilitasi tindakan defensif seperti melawan atau melarikan diri.

Takut mempersempit fokus perhatian agar seseorang tetap waspada terhadap sumber ancaman. Dari perspektif evolusioner, ini sangat masuk akal. Tanpa sistem alarm internal seperti ini, leluhur kita mungkin tidak akan bertahan hidup di alam liar. Namun dalam konteks modern, reaksi ini bisa menjadi sumber penderitaan psikologis jika diaktifkan secara salah arah.

Cemas: Respon Antisipatif yang Berorientasi ke Masa Depan
Berbeda dengan takut, kecemasan adalah kondisi mood yang berorientasi ke masa depan, disertai kekhawatiran, ketegangan otot, dan pemrosesan kognitif yang intens. Cemas tidak selalu disertai reaksi fisiologis ekstrem seperti pada rasa takut. Justru, banyak individu dengan gangguan kecemasan kronis menunjukkan reaktivitas fisiologis yang lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang mengalami fobia akut.

Mengapa demikian? Karena kecemasan lebih bersifat simbolik dan verbal—lebih banyak terjadi di dalam kepala daripada dalam tubuh. Contohnya, seseorang bisa mengalami kecemasan berkepanjangan tentang kemungkinan kehilangan pekerjaan, bahkan ketika tidak ada tanda nyata yang mendukung kekhawatiran tersebut. Cemas seringkali muncul dalam bentuk worrying, rumination, atau kebutuhan untuk “mengontrol” hal-hal yang belum terjadi.

Fungsi Adaptif vs. Disfungsional
Baik takut maupun cemas sebenarnya memiliki nilai adaptif. Kita butuh takut untuk segera melindungi diri, dan kita butuh cemas untuk membuat perencanaan menghadapi potensi ancaman. Misalnya, membuat rencana evakuasi jika terjadi kebakaran rumah adalah bentuk kecemasan yang sehat dan berguna.

Namun, masalah muncul ketika strategi kontrol terhadap emosi—seperti menghindar, melarikan diri, atau mengeraskan batin—menjadi pola tetap. Respons yang awalnya membantu bisa berubah menjadi penjara psikologis. Individu bisa mulai menghindari situasi sosial, pekerjaan, atau bahkan perasaan mereka sendiri, karena takut mengalami ketidaknyamanan emosional.

Kecemasan Tidak Murah: Biaya Psikologis dan Ekonomi
Gangguan kecemasan bukan hanya menyakitkan secara emosional, tetapi juga mahal secara ekonomi. Studi menunjukkan bahwa orang dengan gangguan kecemasan dua kali lebih sering menggunakan layanan kesehatan dibandingkan mereka yang sehat, bahkan lebih sering daripada individu dengan gangguan mood atau skizofrenia. Total biaya tahunan gangguan kecemasan di AS diperkirakan mencapai $45 miliar, dan sebagian besar berasal dari penggunaan layanan primer yang berlebihan—bukan dari terapi psikologis.

Ironisnya, hanya sekitar 30% dari biaya tersebut digunakan untuk perawatan yang benar-benar relevan seperti terapi psikologis atau psikiatri. Ini memperkuat pentingnya pemahaman yang tepat tentang kecemasan, agar intervensi yang dilakukan tidak sekadar menenangkan gejala, tetapi menyasar akar proses psikologisnya.

Implikasi bagi Praktisi dan Penyintas
Sebagai praktisi, kita ditantang untuk tidak hanya memahami simptom dan diagnosis, tetapi untuk benar-benar melihat proses di balik pengalaman klien: pola penghindaran, kecenderungan kontrol, dan hubungan mereka dengan rasa takut dan cemas. Bagi penyintas, penting untuk memahami bahwa kecemasan bukan musuh, melainkan sinyal. Namun, bagaimana kita merespons sinyal tersebut bisa menjadi perbedaan antara penderitaan kronis dan pertumbuhan emosional.

Maka, alih-alih bertanya “bagaimana cara menghilangkan kecemasan ini?”, kita bisa mulai bertanya, “apa yang penting dalam hidupku yang membuat pikiran dan tubuhku merasa seperti ini?” Di sinilah proses penyembuhan dan pemberdayaan dimulai.

Penutup:
Rasa takut dan cemas bukan gangguan yang perlu “dibuang.” Mereka adalah bagian dari sistem internal kita yang perlu dimengerti, dikelola, dan dihargai. Ketika kita mulai melihat keduanya sebagai teman lama yang canggung namun berniat baik, maka dunia dalam diri pun mulai berubah.

𝐁𝐮𝐤𝐚𝐧 𝐓𝐚𝐤𝐮𝐭 𝐓𝐞𝐦𝐩𝐚𝐭 𝐑𝐚𝐦𝐚𝐢, 𝐓𝐚𝐩𝐢 𝐓𝐚𝐤𝐮𝐭 𝐌𝐞𝐫𝐚𝐬𝐚 𝐂𝐞𝐦𝐚𝐬 𝐝𝐢 𝐓𝐞𝐦𝐩𝐚𝐭 𝐑𝐚𝐦𝐚𝐢Bayangkan seseorang yang menghindari pergi ke mal, pasa...
21/05/2025

𝐁𝐮𝐤𝐚𝐧 𝐓𝐚𝐤𝐮𝐭 𝐓𝐞𝐦𝐩𝐚𝐭 𝐑𝐚𝐦𝐚𝐢, 𝐓𝐚𝐩𝐢 𝐓𝐚𝐤𝐮𝐭 𝐌𝐞𝐫𝐚𝐬𝐚 𝐂𝐞𝐦𝐚𝐬 𝐝𝐢 𝐓𝐞𝐦𝐩𝐚𝐭 𝐑𝐚𝐦𝐚𝐢

Bayangkan seseorang yang menghindari pergi ke mal, pasar, atau tempat umum lainnya. Mungkin orang-orang di sekitarnya berpikir, “Dia takut keramaian.” Tapi benarkah begitu?

Dalam banyak kasus, yang sebenarnya ditakuti bukanlah tempatnya—melainkan perasaan cemas yang muncul di tempat itu. Bukan keramaiannya, tapi sensasi detak jantung yang cepat, napas yang sesak, pikiran yang berputar tak terkendali, dan rasa ingin kabur secepat mungkin. Tempat ramai hanyalah pemicunya. Yang dihindari sebenarnya adalah pengalaman internal yang tidak nyaman.

𝐌𝐞𝐧𝐠𝐡𝐢𝐧𝐝𝐚𝐫 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐂𝐞𝐦𝐚𝐬: 𝐒𝐭𝐫𝐚𝐭𝐞𝐠𝐢 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐓𝐞𝐫𝐥𝐢𝐡𝐚𝐭 𝐀𝐦𝐚𝐧, 𝐓𝐚𝐩𝐢 𝐌𝐞𝐧𝐲𝐢𝐤𝐬𝐚

Manusia secara alami ingin menghindari rasa tidak enak. Kita belajar dari kecil: kalau sesuatu membuat kita takut, jauhi. Kalau menyakitkan, hindari. Masalahnya, strategi ini tidak selalu berhasil untuk hal-hal yang bersifat internal—seperti emosi, pikiran, atau sensasi tubuh.

Menghindari tempat ramai demi “aman dari cemas” justru memperkuat keyakinan bahwa kecemasan itu berbahaya. Padahal, kecemasan bukanlah musuh. Ia hanya reaksi tubuh dan pikiran yang mengira ada ancaman. Tapi ketika kita menolak, memusuhi, dan melarikan diri dari kecemasan, justru itulah yang memperparah penderitaan.

Dalam pendekatan Acceptance and Commitment Therapy (ACT), ini disebut experiential avoidance—usaha untuk menghindari pengalaman batiniah yang tidak menyenangkan. Ini adalah akar dari banyak masalah kecemasan, dari fobia hingga serangan panik.

𝐀𝐂𝐓: 𝐁𝐞𝐥𝐚𝐣𝐚𝐫 𝐌𝐞𝐧𝐣𝐚𝐝𝐢 𝐀𝐡𝐥𝐢 𝐌𝐞𝐫𝐚𝐬𝐚, 𝐁𝐮𝐤𝐚𝐧 𝐀𝐡𝐥𝐢 𝐌𝐞𝐧𝐠𝐡𝐢𝐧𝐝𝐚𝐫

ACT tidak berfokus pada “menghilangkan kecemasan.” Sebaliknya, ia mengajak kita untuk belajar menerima kehadiran kecemasan, merasakannya, dan tetap melangkah sesuai nilai hidup kita. Tujuannya bukan untuk merasa lebih baik, tapi menjadi lebih baik dalam merasa.

Artinya, daripada berusaha mengontrol rasa cemas, kita belajar:

- Menyadari bahwa kecemasan hanyalah bagian dari pengalaman manusia,

- Mengizinkannya hadir tanpa harus berperang dengannya,

- Tetap bertindak sesuai nilai dan tujuan hidup, meski cemas masih terasa.

Contoh sederhana: seorang ibu muda yang dulunya menghindari pasar karena takut panik, kini perlahan kembali ke sana bukan untuk “mengalahkan kecemasan,” tapi karena ia ingin hidup lebih bebas dan bisa belanja untuk keluarganya. Nilainya adalah kasih dan kebebasan—itulah yang menjadi arah, bukan sekadar “supaya nggak cemas lagi.”

𝐇𝐢𝐩𝐧𝐨𝐭𝐞𝐫𝐚𝐩𝐢 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐁𝐞𝐫𝐛𝐚𝐬𝐢𝐬 𝐏𝐞𝐧𝐞𝐫𝐢𝐦𝐚𝐚𝐧

Sebagai hipnoterapis, saya sering bertemu klien yang ingin cepat-cepat “menghapus rasa cemas.” Tapi saat mereka diajak untuk menyelami rasa itu dengan aman dan sadar—bukan melarikan diri—muncul kelegaan yang tidak datang dari “menang melawan rasa,” melainkan dari berdamai dengan rasa.

Hipnoterapi yang saya praktikkan bukan tentang membuang emosi, tapi membantu klien mengakses bagian dalam dirinya yang lebih dewasa, bijak, dan mampu merangkul pengalaman emosional yang muncul. Termasuk kecemasan.

Ketika kita belajar menerima kecemasan, membiarkannya lewat seperti gelombang di pantai, kita justru menjadi lebih kuat. Karena ketenangan yang sesungguhnya bukan datang dari “tidak ada cemas lagi,” tapi dari tidak takut lagi dengan hadirnya cemas.

Jika kamu merasa hidupmu mulai dikendalikan oleh kecemasan—hingga membatasi langkah, relasi, dan pilihan—ketahuilah: kamu tidak sendirian. Dan kamu tidak perlu terus berjuang sendirian.

Cemas bukanlah hal yang harus dibuang. Ia hanya perlu ditemani dengan cara yang berbeda.

Dan perubahan itu bisa dimulai dari satu keputusan kecil hari ini: untuk berhenti lari, dan mulai hadir.

𝙇𝙖𝙮𝙖𝙣𝙖𝙣 𝙃𝙞𝙥𝙣𝙤𝙩𝙚𝙧𝙖𝙥𝙞, 𝙗𝙞𝙨𝙖 𝙢𝙚𝙣𝙜𝙝𝙪𝙗𝙪𝙣𝙜𝙞 𝙠𝙤𝙣𝙩𝙖𝙠 𝙙𝙞𝙗𝙖𝙬𝙖𝙝 𝙞𝙣𝙞:
0851-5717-1632 - 𝘼𝙙𝙢𝙞𝙣

Address

Boyolali

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Griya Hipnoterapi Boyolali posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share