05/09/2025
Banyak yang mengira orang diam itu tenang, padahal justru di balik kesunyian wajahnya, ada ribuan percakapan yang tak berhenti di dalam kepalanya. Paradoks ini sering disalahpahami, seolah diam identik dengan pasif. Faktanya, menurut Susan Cain dalam Quiet: The Power of Introverts in a World That Can’t Stop Talking (2012), orang yang diam bukan berarti kosong. Justru mereka cenderung memiliki kehidupan batin yang lebih kaya, penuh refleksi, dan kadang melelahkan karena tidak semua bisa diucapkan keluar.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa melihat seseorang yang duduk diam di pojok ruangan rapat. Dari luar tampak tenang, namun di dalam pikirannya mungkin ia sedang menganalisis setiap detail yang terjadi. Ketika orang lain sudah mengucapkan kalimat, ia mungkin sudah memikirkan tiga kemungkinan respons yang berbeda. Inilah mengapa diam sering kali bukan tanda hampa, tetapi justru tanda otak sedang sibuk bekerja.
1. Diam sebagai Ruang Refleksi
Menurut Anthony Storr dalam Solitude: A Return to the Self (1988), diam memberi ruang bagi pikiran untuk mencerna pengalaman dan menemukan makna yang tersembunyi. Orang yang diam sering kali tampak pasif, namun sebenarnya sedang memproses dunia dengan kedalaman yang jarang terlihat.
Contoh sederhana adalah ketika seseorang tidak langsung merespons dalam percakapan. Alih-alih dianggap tidak tahu, bisa jadi ia sedang menimbang kata-kata dengan hati-hati agar tidak salah langkah. Justru diam menjadi cara mereka mengatur ketenangan sebelum melontarkan pendapat yang bernas.
Dengan begitu, diam bukanlah kosong, melainkan aktivitas mental yang intens. Orang yang mampu menahan diri dari bicara berlebihan biasanya memiliki sudut pandang yang lebih matang.
2. Pikiran yang Penuh Skenario
Julian Jaynes dalam The Origin of Consciousness in the Breakdown of the Bicameral Mind (1976) menunjukkan bahwa kesadaran manusia sering diwarnai oleh “suara internal” yang terus berbicara. Orang yang diam di luar mungkin justru memiliki “dialog batin” yang berisik di dalam.
Seorang individu yang tampak hening bisa saja sedang memikirkan berbagai skenario: apa yang terjadi jika ia bertindak, bagaimana orang lain menilai, atau apakah ada risiko tersembunyi. Aktivitas mental ini membuat diam bukan tanda hampa, melainkan tanda otak yang sedang sibuk menguji berbagai kemungkinan.
Dalam situasi sosial, mereka mungkin terlihat tidak berkontribusi banyak, padahal mereka tengah mengamati, menyerap, dan memproses informasi lebih banyak daripada yang terlihat di permukaan.
3. Beban Ekspektasi Sosial
Dalam The Presentation of Self in Everyday Life karya Erving Goffman (1959), dijelaskan bahwa setiap orang tampil dengan peran sosial tertentu. Orang yang diam sering dianggap “tidak aktif” hanya karena tidak memainkan peran sesuai ekspektasi kelompok. Padahal, diamnya bisa menjadi bentuk resistensi halus terhadap tekanan sosial.
Misalnya, dalam pertemuan keluarga, ada orang yang lebih s**a mendengarkan ketimbang menimpali. Diamnya justru penuh kesadaran, bukan kekosongan. Ia memilih tidak masuk dalam hiruk pikuk peran sosial, tapi bukan berarti pikirannya kosong.
Di sinilah sering muncul salah paham. Diam dipandang lemah, padahal justru merupakan kekuatan dalam mengendalikan diri.
4. Overthinking sebagai Sisi Lain dari Diam
Dalam The Overthinking Cure karya Nick Trenton (2021), dijelaskan bahwa orang yang diam sering kali adalah mereka yang lebih rentan terhadap overthinking. Diam di luar bisa menyembunyikan suara-suara internal yang berisik, penuh keraguan dan pertanyaan.
Seseorang yang tampak kalem mungkin sedang mengulang-ulang percakapan semalam, menebak-nebak bagaimana orang lain menilainya. Hal ini menunjukkan bahwa diam bisa menjadi topeng dari pikiran yang terlalu sibuk.
Meskipun melelahkan, proses ini juga bisa membuat mereka lebih teliti dan kritis. Diam memberi mereka waktu untuk memproses dengan hati-hati, meski risikonya adalah terlalu lama terjebak dalam pikirannya sendiri.
5. Kreativitas yang Lahir dari Sunyi
Mihaly Csikszentmihalyi dalam Creativity: Flow and the Psychology of Discovery and Invention (1996) menunjukkan bahwa kreativitas sering lahir dari kesunyian. Orang yang diam justru punya ruang lebih luas untuk membiarkan pikirannya mengembara dan menemukan ide-ide baru.
Contohnya, banyak penulis besar yang terkenal pendiam dalam kehidupan sosial, tetapi menghasilkan karya yang riuh di dunia sastra. Diam menjadi bahan bakar kreativitas karena otak punya kesempatan untuk menyambungkan hal-hal yang tampak tidak terkait menjadi gagasan baru.
Diam, dalam hal ini, tidak sekadar menahan suara, melainkan membuka ruang bagi lahirnya hal-hal yang tak terduga.
6. Sensitivitas Emosional yang Tinggi
Elaine Aron dalam The Highly Sensitive Person (1996) menjelaskan bahwa orang yang tampak diam sering kali adalah mereka dengan sensitivitas tinggi. Mereka lebih mudah menyerap nuansa emosi di sekitarnya, sehingga memilih diam agar tidak kewalahan.
Misalnya, dalam sebuah pertemuan yang tegang, mereka bisa merasakan atmosfer emosional lebih kuat dibanding orang lain. Diam menjadi cara melindungi diri, meski di kepala mereka terjadi diskusi emosional yang intens.
Hal ini menjelaskan mengapa orang diam sering terlihat “berisik” di dalam. Mereka sedang mengatur ledakan emosi yang mungkin tidak terlihat dari luar.
7. Diam Bukan Berarti Tidak Punya Suara
Susan Cain juga menekankan bahwa introvert sering kali membutuhkan waktu lebih lama untuk mengekspresikan diri, bukan karena tidak punya suara, melainkan karena memilih waktu yang tepat. Diam adalah fase akumulasi energi, yang kemudian bisa meledak dalam bentuk ide kuat atau tindakan yang berarti.
Dalam dunia kerja, orang yang jarang berbicara dalam rapat bisa jadi adalah orang yang justru menyampaikan ide paling tajam saat waktunya tiba. Diam memberi kesempatan untuk mematangkan gagasan, sehingga ketika keluar, kata-katanya lebih berbobot.
Itulah mengapa kita tidak bisa menilai kedalaman seseorang hanya dari seberapa sering ia berbicara. Diam bisa menjadi tanda bahwa seseorang sedang mendengarkan dunia dengan cara yang lebih dalam.
Pada akhirnya, diam adalah bahasa lain yang sering disalahpahami. Justru di balik hening itu, ada riuh pikiran yang bekerja tanpa henti. Pertanyaannya, apakah kita cukup peka untuk mendengarkan suara yang tidak terucap?
Menurutmu, apakah orang diam memang lebih bijak atau justru lebih tersiksa oleh pikirannya sendiri? Tulis pendapatmu di kolom komentar dan jangan lupa share agar lebih banyak orang ikut merenungkan ini.