19/10/2025
Di sebuah kota kecil yang dikelilingi sawah dan gunung, tinggal seorang perempuan bernama Lira. Ia pernah kehilangan banyak hal sekaligus: orang tuanya, pekerjaannya, dan bahkan semangat untuk bangun setiap pagi. Setiap hari terasa seperti berjalan di kabut tebal—tak ada arah, tak ada warna.
Suatu hari, Lira memutuskan untuk berjalan kaki ke bukit di pinggir kota. Ia tidak tahu alasannya, hanya ingin bergerak. Di tengah jalan, ia berhenti di sebuah warung tua. Pemilik warung, seorang nenek berambut perak, menyapanya, “Capek ya, Nak? Tapi kalau kamu terus berjalan, nanti capeknya berubah jadi kekuatan.”
Kalimat itu menancap. Sejak hari itu, Lira mulai berjalan setiap pagi. Bukan untuk melupakan masa lalu, tapi untuk berdamai dengannya. Setiap langkah kecil menjadi pengingat bahwa penyembuhan bukan tujuan yang bisa dicapai—melainkan perjalanan yang harus dijalani. Kadang ia menangis, kadang ia tertawa. Kadang berhenti di tengah jalan untuk sekadar menarik napas panjang. Tapi ia terus melangkah.
Bertahun-tahun kemudian, ketika ditanya bagaimana ia bisa “sembuh,” Lira hanya tersenyum dan menjawab,
“Aku tidak sembuh. Aku tumbuh.”
Perjalanan penyembuhan tidak berakhir di satu titik. Ia terus berubah seiring kita belajar mencintai luka yang dulu kita benci. Karena sesungguhnya, healing is not about becoming who you were, but becoming who you are meant to be.