18/11/2013
Penegakkan Hukum dalam rangka Perlindungan Hutan (Kawasan Konservasi Swaka Margasatwa) NANTU, Melalui Pemberdayaan Masyarakat
I. Latar Belakang
“Setiap orang dilarang menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpat, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah….”
Pasal 50 UU Negara RI No. 41 Tahun 1999
“Pimpinan Unit Organisasi Kementerian Negara/Lembaga/ Satuan Kerja Perangkat Daerah yang terbukti melakukan penyimpangan kegiatan anggaran yang telah ditetapkan dalam undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD diancam dengan pidana penjara dan denda sesuai dengan ketentuan undang-undang.…”
Pasal 34 UU Negara RI No. 17 Tahun 2003
“Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).”
Pasal 3 UU Negara RI No. 8 Tahun 2010
“Setiap pejabat dilarang: a)………, g)dengan sengaja melakukan pembiaran dalam melaksanakan tugas; dan/atau, h)lalai dalam melaksanakan tugas.
Pasal 28 UU Negara RI No. 18 Tahun 2013
Pada awal tahun 2013, Jaring Advokasi Pengelolaan Sumber Daya Alam (Japesda), bekerja sama dengan Mongabay Indonesia dan Aliansi Jurnalis Independen Kota Gorontalo, menggelar diskusi mengenai pengelolaan hutan dan lingkungan di Gorontalo. Dalam kesempatan itu, terungkap keprihatinan masyarakat atas kebijakan alih fungsi hutan di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone untuk pertambangan PT Gorontalo Mineral, anak perusahaan Bumi Resources milik keluarga Bakrie, adalah merupakan salah satu dosa besar dari pemerintah, yang ditambah lagi dengan bertumbuh gilanya perkebunan sawit yang mengancam hutan-hutan di Gorontalo (http://www.mongabay.co.id/2013/01/13/pengelolaan-hutan-gorontalo-makin-memprihatinkan/).
Sejak tahun 2000 intensitas bencana banjir di Gorontalo semakin tinggi. Menurut Gubernur Gorontalo Rusli Habibie, banjir yang sering melanda sejumlah wilayah di daerah itu adalah akibat rusaknya lingkungan. Dikatakannya: "Saya prihatin melihat kondisi lingkungan di Gorontalo. Saya pernah memantau dari udara, banyak titik yang sudah parah rusaknya.Selain adanya perambahan hutan, faktor lain penyebab banjir yakni adanya sedimen pada sungai.” Ia mencontohkan adanya sedimen di Sungai Paguyaman yang menjadi pemicu terjadinya banjir di wilayah tersebut."Tak hanya sedimen, ada juga aktivitas penambangan dan pembalakan liar yang dilakukan pihak tertentu tanpa memikirkan kondisi lingkungan," jelasnya. (http://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/13/05/20/mn24p0-banjir-di-gorontalo-akibat-rusaknya-lingkungan)
Sebelum Rusli Habibie menjadi Gubernur Gorontalo, pada tahun 2010 masyarakat Gorontalo rantau telah digemparkan dengan keluarnya surat keputusan Menteri Kehutanan No.324 tahun 2010 mengenai pengalihan fungsi Taman Nasional Bogani Nani Warta Bone, melalui revisi tata ruang, yang dilaksanakan secara terencana (tanpa disadari masyarakat Gorontalo yang awam). Alih fungsi itu sendiri adalah berupa pelepasan 22.065 hektar, dan perubahan fungsi 15.024 hektar hutan tanaman nasional tersebut menjadi hutan produksi. Rencana pemanfaatan hutan produksi menjadi kawasan pertambangan emas tertera dalam peta Blok Kontrak Karya dan Kuasa Pertambangan Provinsi Gorontalo (http://nasional.kompas.com/read/2010/10/11/03112628).
Kengawuran pemerintah daerah (kala itu) dalam memberikan rekomendasi mengenai alih fungsi hutan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone ini, jelas adalah merupakan langkah ngawur yang menggunakan landasan prospek kesejahteraan profinsi Gorontalo bila emas dapat ditambang dengan skala raksasa di areal bekas Taman Nasional BNW tersebut. Pertanyaan yang gampang saja, yang pasti tidak dapat dijawab oleh para pejabat Pemerintah Daerah saat itu, adalah mengenai kesejahteraan siapa yang didapat dari hancurnya Taman Nasional BNW. Pada tanggal 26 Juli 2010 berbagai komponen masyarakat Gorontalo (rantau dan lokal) mengadakan Dialog Nasional mengenai masa depan Gorontalo akibat dampak dari alih fungsi hutan Taman Nasional BNW. Namun seperti dialog pada umumnya, masalah penghancuran Taman Nasional BNW tidak berubah dan tetap berproses menuju kehancuran.
Selain proses kehancuran Taman Nasional BNW, satu lagi proses kehancuran ekosistem sedang berlangsung di Gorontalo, yaitu proses lenyapnya Danau Alam Limboto. Ketika Belanda masih menguasai Indonesia, menurut catatan pemerintahan kolonial, bahwa pada tahun 1932 Danau Limboto memiliki kedalaman 30 meter dengan luas tidak kurang dari 8.000 hektar. Bahkan pada tahun 1951, ketika Presiden RI pertama Soekarno berkunjung ke Gorontalo, ia menggunakan pesawat amphibi Catalina untuk mendarat di Danau Limboto yang menampung air dari 13 sungai itu.
Danau Limboto itu luas dan dalam (secara alami), karena ditopang oleh hutan-hutan yang berada di hulu ke 13 sungai tersebut. Dengan hutan yang luasnya lebih dari 100.000 hektar (saat p***a kemerdekaan), maka erosi dari 13 sungai dapat terhindarkan, dan Danau Limboto dapat menampung air yang sebagian besar telah diserap oleh hutan-hutan dihulu sungai. Saat ini, dengan hancurnya ekosistem dihulu sungai-sungai tersebut, maka Ikan-ikan yang akrab di lidah masyarakat Gorontalo seperti ikan huluu, payangga, mangga bai, botuwa, monggaheto, dumbaya, dapat dipastikan akan menjadi langka ketika dalam waktu dekat ini Danau Limboto lenyap(tahun 2012 luas danau tinggal 2.500 hektar dengan kedalaman 1,876 sampai 2,5 meter).
Dengan jumlah penduduk yang hanya lebih dari satu juta, ranking provinsi Gorontalo dilihat dari produk domestik produk (PDB) daerah, berada di posisi nomer 30 dari 33 provinsi se Indonesia. Berdasarkan survei BPS, jumlah penduduk miskin di Provinsi Gorontalo selama periode September 2012 - Maret 2013 bertambah, dan Indeks Keparahan Kemiskinan (IKK) Gorontalo, mengalami kenaikan dari 0,843 persen pada September 2012, menjadi 0,897 persen pada Maret 2013 (http://www.iyaa.com/berita/nasional/umum/2811363_1124.html). Artinya, hal ini menandakan bahwa ketimpangan pengeluaran antar penduduk miskin semakin besar. Padahal baru setahun lalu (Januari 2012), Pemda Gorontalo berbangga karena masuk dalam nominasi unggulan dalam menekan angka kemiskinan (http://www.bisnis-kti.com/index.php/2012/01/gorontalo-masuk-nominasi-tim-koordinator-penanggulangan-kemiskinan/).
Menyadari terus bergeraknya proses penghancuran ekosistem Provinsi Gorontalo yang tidak dapat ditangani oleh Pemerintah Daerah, maka masyarakt Gorontalo rantau berinisiatif untuk berpartisipasi dalam program pelaksanaan pembangunan masyarakat Gorontalo lokal yang sejahtera dan bermartabat. Program unggulan yang difokuskan adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat. Program unggulannya sendiri adalah berupa peningkatan pemeliharaan dan pemulihan pelestarian ekosistem Gorontalo melalui program yang fokus pada penyelamatan satu-satunya asset provinsi Gorontalo yang relatif masih dapat diselamatkan, yaitu hutan Swaka Margasatwa Nantu.
II. Mengapa Hutan SM Nantu Perlu Deselamatkan:
Anatomi ekologi dari lembah Gorontalo, sangat rentan terhadap penghancuran hutan dan ekosistemnya. Secara karakteristik, struktur lapisan tanah lembah Gorontalo itu tidak sebaik tanah didaerah subur lainnya di Indonesia. Secara kasar dapat dikatakan bahwa lapisan subur tanah lembah Gorontalo itu tidak tebal dan sangat membutuhkan hutan untuk mempertahankan kesuburan seluruh lembah Gorontalo. Bila hutan yang mengelilingi lembah Gorontalo hancur, maka lapisan subur deseluruh area lembah Gorontalo terancam kehilangan produktifitasnya.
Dari empat harta warisan peradaban provinsi Gorontalo (Taman Nasional BNW, C***r Alam Panu, Swaka Margasatwa Nantu dan Danau Limboto), hanya tinggal satu yang masih relatif terjaga, yaitu SM Nantu. Yang memprihatinkan, SM Nantu ini dapat bertahan seperti saat ini karena dedikasi luar biasa dari seorang warga negara Inggris. Yang membuat situasi menjadi bertambah ironis, sangat banyak orang Gorontalo lokal (termasuk para pejabat daerah) yang membenci kehadiran warga Inggris tersebut dalam menjaga keutuhan ekosistem SM Nantu, dan tidak pernah berhenti berusaha untuk mendeportasikannya. Bila tidak ada yang menjaga hutan SM Nantu tersebut, maka seluruh koleksi keragaman hayati di SM Nantu sudah/akan hancur dengan didahului oleh tindakan-tindakan pembalakan, perburuan dan pertambangan liar yang membabi buta.
Yang menambah ironis keadaan, adalah fakta bahwa saat ini (sama seperti kasus konversi alih fungsi hutan Taman Nasional BNW di tahun 2009) bersama dukungan dari akademisi lokal (Gorontalo), Kementerian Kehutanan sedang dalam proses untuk meningkatkan status SM Nantu menjadi Taman Nasional. Yang sangat merisaukan disini adalah, walaupun dalam gradasi status di Kementerian Kehutanan, ditetapkan bahwa status Taman Nasional adalah status yang paling tinggi level prestige-nya, namun sama seperti bencana yang terjadi di Taman Nasional BNW dimana akhirnya pemerintah memecah-mecah lagi peruntukannya, ancaman yang sama sedang mengintai nasib dari SW Nantu.
Mengapa status Taman Nasional menjadi sedemikian rapuh dalam menyelamatkan ekosistem, semuanya bermuara pada kerakusan (greed) dan kepandiran (ignorance) dari para pejabat pemerintah yang terkait, yang kemudian ditunggangi oleh kepentingan ekonomi yang kotor (underground economy). Sebagai Taman Nasional, maka dengan berbagai pendekatan (akademis, politik, ekonomi dan sosial) kepentingan dari para bandit ekonomi atas isi hutan lindung atas Taman Nasional dapat diakomodasikan. Caranya adalah dengan memecah-mecah zona hutan dan ditukar-tukar antara satu zona dengan zona yang lainnya. Namun yang kita semua ketahui bahwa secara logika nalar, isi dari ekosistem dalam suatu kawasan tidak dapat dipindah-pindah menurut zona-zona yang diputuskan oleh para pimpinan di daerah dan di Jakarta. Burung Maleo, Babi Rusa, maupun tumbuh-tumbuhan endemic, tidak dapat direlokasikan seperti dalam program transmigrasi manusia.
Kembali pada ke empat harta warisan peradaban di Provinsi Gorontalo yang perlu diselamatkan, hutan Nantu adalah merupakan garis pertahanan terakhir dari masyarakat Gorontalo dalam rangka mengembalikan keseimbangan ekosistem Gorontalo, yang akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Gorontalo, terutama masyarakat akar rumput. Setelah hutan SM Nantu terselamatkan, maka berikutnya adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat akar rumput Gorontalo asli yang lahir, besar dan tinggal di Gorontalo. Dengan antusias dan partisipasi dari masyarakat Gorontalo semesta (lokal & rantau), Pemerintah Daerah akan mendapatkan momentum yang diperlukan (dukungan Pemerintah Pusat) untuk mensejahterakan masyarakat akar rumput terdsebut. Dan dengan peningkatan kesejahteraan orang Gorontalo asli, maka mereka akan paham dan sejalan dengan Pemerintah untuk mulai memelihara lingkungan, karena apa yang mereka kerjakan tersebut akan berdampak langsung pada income yang mereka peroleh.
III. Agenda Jangka Pendek:
Dengan pengarahan dari Bapak Emil Salim sebagai Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), BKSDA Sulawesi Utara akan mengadakan seminar di Gorontalo dengan agenda utamanya melindungi SM Nantu. Pesan inti yang dikomunikasikan adalah betapa beruntungnya masyarakat Gorontalo memiliki SM Nantu, yang merupakan satu2nya kawasan dengan keunikan yang ada, di dunia ini. Dengan memelihara SM Nantu, maka rakyat Gorontalo secara bertahap akan memperoleh manfaatnya melalui peningkatan ekonomi yang berkelanjutan dimulai dari masyarakat sekitar SM Nantu. Selain itu, melindungi SM Nantu bukan sekedar melindungi Babirusa maupun flora fauna endemik lainnya, melainkan menjaga warisan dunia yang dalam jangka waktu panjang akan sangat menguntungkan generasi Gorontalo selanjutnya.
Adapun maksud dan tujuan kegiatan seminar sehari ini adalah untuk menyamakan pandangan dari para pemangku kepentingan yang terdiri dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Para Penegak Hukum dan Masyarakat (CSO). Seperti yang selalu diwartakan oleh media-media lokal maupun nasional, bahwa seluruh pejabat terkait (daerah maupun pusat) semuanya sangat prihatin terhadap penghancuran keseimbangan ekosistem secara nasional, maupun lokal (dalam hal ini di Provinsi Gorontalo). Namun dalam perjalanannya, dalam kenyataan, tidak ada aksi nyata dari para pemangku kepentingan untuk mengatasi secara tuntas proses penghancuran ekosistem yang sedang berlangsung secara masif. Hal inilah yang pertama-tama harus disepakati dan dipahami secara nasional, melalui kasus SM Nanatu.
Melalui seminar sehari ini, diharapkan bahwa setiap komponen pemangku kepentingan akan menjadi sangat paham terhadap pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem terhadap kesejahteraan masyarakat (terutama akar rumput) untuk jangka waktu menengah sampai panjang ( yang bersangkutan, anak, cucu, dan keturunan selanjutnya). Menyadari kepentingan tersebut, maka Pemerintah Pusat telah mengeluarkan Undang-undang yang terkait langsung dengan pengamanan dan pelestarian keseimbangan ekosistem demi kesejahteraan rakyat, secara menyeluruh. Adapun Undang-undang tersebut harus dilaksanakan secara tegas dan intensif, untuk menghindarkan penyimpangan-penyimpangan yang akhirnya berakibat terhadap bencana keseimbangan ekosistem, seperti yang saat ini sedang terjadi di Provinsi Gorontalo.