24/04/2018
Gagasan penguatan regulasi program konsumsi susu memerlukan kearifan pengambilan keputusan yang berpihak pada kepentingan terbaik anak Indonesia. Pemerintah harus mempertimbangkan beberapa data empiris yang tidak mendukung gerakan peningkatan konsumsi susu untuk anak Indonesia:
1. Kegagalan ‘Revolusi Putih’ yang berlangsung selama 30 tahun di India, saat ini menjadi negara produsen dan konsumen susu terbesar di dunia sekaligus menduduki peringkat pertama malnutrisi dengan 48,9 juta balita stunting.
2. Kondisi produksi susu sapi dalam negeri pada tahun 2016 600.000 liter, dengan besaran kebutuhan 3.900.000 liter, sehingga rasio susu segar lokal vs impor adalah 18 : 82. Dengan target peningkatan jumlah sapi perah hingga 20% di tahun 2019, secara nasional 78% kebutuhan susu segar masih harus diimpor.
3. Alergi protein susu sapi dialami oleh 2-3% bayi Indonesia (terutama di tahun pertama), sedangkan intoleransi laktosa lebih sering terjadi pada anak usia 3-5 tahun (29%), 6-11 tahun (59%), 12-14 tahun (69%) dan usia dewasa (80-90%).
4. Konsekuensi dari diet tidak seimbang yang berasal dari konsumsi susu tinggi protein berperisa/pemanis adalah bertambahnya kasus gizi lebih dan obesitas. Kebiasaan minum susu bagi sebagian ibu balita menurunkan intensitas dalam memberikan asupan menu keluarga, sedangkan manfaat susu ‘pertumbuhan’ belum dapat dibuktikan secara ilmiah mampu mengungguli diet gizi seimbang.
5. Kerugian yang nyata berupa masalah kesehatan termasuk malnutrisi yang diderita ibu dan bayi dalam jangka pendek maupun jangka panjang jika tidak menyusui (produk susu hewan tidak mampu memberikan imunitas seperti yang dijamin oleh ASI!), maupun kerugian ekonomi terutama beban finansial untuk biaya pengobatan, perawatan, serta berkurangnya pendapatan yang dipikul oleh keluarga serta beban anggaran penyediaan susu impor dan biaya distribusinya ke sasaran program yang harus ditanggung oleh negara.