
25/09/2025
Di sebuah gubuk reyot, yang separuhnya sudah menyerah pada waktu,
hidup seorang lelaki tua bernama Abah Iju.
Langkahnya gontai, napasnya sesak,
namun tangannya tetap menggenggam seikat harapan,
menjajakan kerupuk dari pagi hingga malam.
Bukan untuk dirinya,
bukan untuk perut renta yang sering dibiarkan kosong,
melainkan untuk sang anak tercinta,
yang pulang dalam keadaan jiwa terguncang,
meninggalkan masa depan di negeri orang,
dan kini hanya bisa duduk dalam diam,
ditemani doa seorang ayah yang tak pernah padam.
Dulu, Abah punya sandaran:
seorang istri yang setia, seorang rumah sederhana yang ramah.
Namun waktu merenggut satu per satu—
istri yang berpulang, harta yang terjual,
hingga kini yang tersisa hanya gubuk lapuk,
yang lebih pantas disebut puing daripada rumah.
Setiap hujan deras turun, Abah bertanya lirih:
“Apakah malam ini kami masih selamat,
atau rumah ini justru akan menjadi makam?”
Namun Abah tidak menyerah.
Meski tubuhnya renta,
meski batuk dan sesak membelenggu,
ia tetap melangkah, menjual kerupuk demi segenggam rupiah.
Karena bagi Abah, bukan dirinya yang utama,
melainkan anaknya—
anak yang butuh obat, butuh perawatan,
butuh tempat aman untuk berteduh,
butuh ayah yang tetap berdiri meski hampir runtuh.
Harapan Abah sederhana saja:
sebuah rumah kokoh yang tak lagi membuatnya was-was,
tempat sang anak bisa merasa pulang meski suatu saat ia tiada.
Dan sedikit harapan untuk kesembuhan,
agar putrinya bisa merasakan lagi arti hidup yang tenang.
Abah Iju mungkin miskin harta,
tapi ia kaya cinta, kaya kesabaran,
kaya perjuangan yang tak ternilai.
Di wajah tuanya,
tersimpan cerita tentang kasih sayang tanpa batas,
tentang pengorbanan yang melampaui logika,
tentang seorang ayah,
yang memilih bertahan meski dunia nyaris merobohkannya.