02/12/2019
Nemu di group sebelah
π
Saat Emosi Tak Terkendali
(Tips Menengahi Pertengkaran Antar Saudara)
Bismillah...
Pagi tadi di rumah saya ada kericuhan. Pasalnya apa lagi kalau bukan pertengkaran antara si sulung dan si nomor dua. Teriakan menggema ke seluruh sudut rumah mungil kami. Masing-masing punya alasan kenapa mereka meradang. Hingga akhirnya si sulung merasa kesal dan mematahkan lidi yang sedianya akan dibuat kreasi mainan oleh adiknya. Dan sang adik auto nangis kejer karenanya.
Oke sip, sedaap!
Eh belum, sebagai pelengkap, ayahnya memarahi keduanya dan bertanya pertanyaan standard,
"Kalian ini kenapa sih berantem aja? Kamu kenapa matahin lidi? Kamu kenapa teriak-teriak?"
Tanyanya bergantian pada si sulung dan si nomor dua. Yang tentu saja jawabannya penuh berisi pembelaan dari masing-masing. Selesai? Tidak. Yang ada malah makin kesal karena anak-anak gak ada yang mau ngalah, merasa diri paling benar versi mereka.
Saya diam dulu. Istighfar. Tarik napas panjang, tahan, lepas. Gitu aja terus entah berapa kali, sampai emosi agak surut.
Lalu saya panggil si sulung. Kenapa dia duluan yang dipanggil? Karena "korek api" alias pemicunya dia. Dia yang mematahkan lidi sehingga adiknya mengamuk.
"Ada yang mau dijelaskan kenapa lidi yang sudah dikumpulkan itu sampai harus dipatahkan?"
Tanya saya pada si sulung.
"Gaza kesal! Bilal bikin gara-gara. Tadi itu dia udah janji bla bla bla... Tapi dia gak menepatinya, malah bla bla bla..."
Ujarnya emosi.
"Haruskah dipatahkan? Itu hasil dia nyari lho, beberapa lidi yang agak tebal untuk dibikin kreasi."
"Apa susahnya sih nyari lagi? Kan sapu lidi kita masih banyak."
"Oh, jadi menurutmu boleh merusak apa yang sudah diusahakan oleh orang lain jika sesuatu gampang buat didapat?"
"Ya enggak juga, sih."
"Pernah Bunda kasitau, gimana caranya kalau lagi kesal? Dengan merusak kah?"
Si sulung menggeleng,
"Bunda bilang, kasitau tegas, 'Maaf aku gak s**a kamu begitu. Berbohong atau ingkar janji itu gak baik', gitu."
"Nah, dilakukan nggak?"
Lagi-lagi dia menggeleng.
"Boleh sekarang minta maaf?"
"Kenapa harus Gaza? Dia juga salah!"
"Ya, dia salah. Nanti Bunda kasih tau. Tapi untuk sekarang, silakan minta maaf dulu. Pada Bilal dan Ayah."
"Kenapa harus sama Ayah juga?"
"Karena pas Ayah tegur, kamu bela diri dengan cara kurang baik."
"Tapi Ayah nanyanya kaya nuduh."
"Baru kayanya, bukan sebetulnya."
"Tapi tadi Gaza udah bilang, 'Ya deh maafin, abis kamunya tadi ngeselin', gitu ke Bilal. Depan Ayah."
"Begitu cara minta maaf?"
"Hmmm..."
"Seandainya Bunda sekarang tampar kamu. Lalu Bunda bilang, 'Ya deh maafin', apakah kamu akan memaafkan Bunda?"
"Ya gak lah! Udah mah sakit ditampar, masa cuma minta maaf gitu doang?"
"Seandainya Bunda tampar kamu, terus bilang 'astaghfirullaah Bang Bunda kelepasan. Tolong dimaafkan ya' lalu Bunda peluk kamu, cium tangan kamu dan tidak membela diri atas kesalahan itu, kira-kira dimaafkan enggak?"
"Hmmm... Kesel sih, tapi kan Bunda udah sadar salah, jadi dimaafin."
"Paham sekarang cara minta maaf yang baik? Tidak pakai embel-embel pembelaan diri. Setidaknya tunggu sampai situasi reda."
Anak itu mengangguk.
"Sana lakukan."
"Tapi Gaza malu."
"Kenapa harus malu? Malu itu keluar nggak pakai baju. Kalau gak mau minta maaf itu namanya gengsi."
"Apa bedanya?"
"Gengsi itu melakukan sesuatu yang menurut kita gak level. Gak seharusnya dilakukan oleh orang sekaya kita, sekeren kita, seusia kita, seganteng kita dan lainnya. Padahal sebetulnya justru baik. Misalnya kamu gak mau makan di pinggir jalan dan memilih di mall karena kamu punya uang lebih. Itu namanya gengsi. Dan itu gak baik."
"Ooh."
"Jadi, sudah siap minta maaf?"
"Iya deh."
Jawabnya sambil menyeret kakinya. Dan ya, dia melakukannya. Mencium tangan ayahnya, memeluk adiknya. Hanya maaf tanpa embel-embel membela diri seperti sebelumnya.
Masalah selesai?
Belum.
Saya ceritakan kisah perselisihan Bilal dan Abu Dzar Al-Ghifari padanya. Saat itu sedang berkumpul para sahabat mendiskusikan suatu perkara. Setelah Abu Dzar mengemukakan pendapatnya, Bilal menyanggah dengan mengatakan bahwa pendapat itu kurang tepat. Abu Dzar marah dan mencela Bilal dengan kalimat merendahkan, "Kau juga menyalahkanku wahai anak budak kulit hitam?"
Bilal lalu mengadukannya pada Rasulullah, hingga berujung pada dipanggilnya Abu Dzar. Menyadari kesalahannya, Abu Dzar meminta Rasulullah agar mohonkan ampunan pada Allah. Tak cukup sampai di situ, Abu Dzar meletakkan kepalanya di tanah sambil menangis dan berkata pada Bilal,
"Demi Allah aku tak akan mengangkatnya sampai engkau menginjaknya, wahai Bilal. Agar engkau memaafkanku."
Lihat, sahabat selevel Abu Dzar Al-Ghifari sampai begitu caranya meminta maaf pada Bilal. Maka malu lah jika kita yang manusia biasa punya banyak khilaf, sampai tak mau minta maaf.
Dan luluhlah kemarahan itu perlahan saya lihat di matanya. Napas yang tadinya tersengal mulai mereda. Sorot mata yang membara kini meredup. MasyaaAllah...
Habis itu giliran adiknya saya ajak ngobrol. Hampir sama caranya, hanya beda topik, mengenai alasannya ingkar janji. Dan jawabannya di awal pun sama, penuh dengan pembelaan. Intinya, kakaknya yang salah. Saya suruh dia juga minta maaf. Cerita tentang Bilal dan Abu Dzar Al-Ghifari pun diulang.
Dan ya, bi idzniLlaah dia pun meminta maaf. Mereka berpelukan macam Teletubbies. Alhamdulillah...
Saya ajarkan pada keduanya bahwa kesal, marah, kecewa atau benci itu wajar jika kita diperlakukan nggak baik. Tapi bagaimana mengatasi semua itu agar kembali baik tanpa ada dendam, tentu harus diupayakan.
"Laa taghdhob walakal jannah, janganlah kamu marah maka bagimu surga."
Saya ingatkan hadist ini pada anak-anak.
Mereka paham, alhamdulillaah.
Lalu bagaimana kalau selanjutnya bertengkar lagi? Ya diselesaikan sesuai dengan temanya. Lain kali kami akan berdiskusi tentang rukun Iman. Barangsiapa beriman pada Allah, maka dia tahu bahwa saat menyakiti saudaranya, Allah Maha Melihat.
Atau tema-tema lain yang diajarkan dalam Al Qur'an dan hadist. Karena, bukankah itu sebaik-baik referensi pengajaran?
Salam hangat,
Pritha Khalida π