30/03/2021
KETERAMPILAN PRA-PRANIKAH
salah satu hal yang sangat membahagiakan bagi saya setidaknya dalam 5 terakhir ini adalah melihat makin menjamurnya kesadaran dan kebutuhan orang-orang akan prosesi bimbingan pranikah yang memperlengkapi sepasang kekasih masuk dalam kehidupan berumah tangga..
karena lahir di keluarga dengan latar belakang kristiani, kebetulan sejak kecil saya tahu keberadaan prosesi tersebut sebagai diadakan sebagai syarat menikah di gereja. hari minggu aja adalah sekolah (baca: Sekolah Minggu), apalagi hari menikah. ada sekolahnya juga dengan berbagai varian nama, syarat, dan durasi; di komunitas saya, dikenal dengan istilah BPN (Bimbingan PraNikah).
🌟🌟🌟
saya ingat sewaktu remaja dulu, setiap kali mendengar sepasang kekasih diumumkan sedang ikut BPN, impresi saya terhadap mereka seperti melonjak berlipat ganda kagum hormat. walau mungkin usia mereka masih 20an, di mata saya mereka jadi tampak instan terlihat ultra dewasa, hyper bijak, dan berkilau suci agung.. sangat berbeda dari kami rakyat jelata yang belum bisa ikut BPN (baca: kaum bocah ingusan dan cemar)..
saat itu, saya berpikir BPN semacam sekolah elit dan ujian tertinggi demi mendapat approval dari Tuhan untuk buka franchise Terang Dunia (baca: beranak cucu dan bertambah banyak). 😁
yah namanya juga remaja kesepian yang nerdy dan sulit bergaul.. mohon maap kalau cara pandang dan pikirnya kelewat kreatif gitu. 🙏
🌟🌟🌟
anyways, setelah masuk usia dewasa saya akhirnya paham manfaat dari sekolah pembekalan demikian. lalu ketika belakangan ini saya melihat pemerintah pun mulai ikut menyadari kegunaannya dalam memperkuat dua individu yang menjalani pernikahan. saya melihat pemerintah mulai serius memfasilitasi pembekalan serupa lewat organisasi/lembaga terkait, bahkan berupaya menjadikannya syarat untuk menikah.
it's a bit late, but I applaud, admire, and fully support this progress in our society. 👍👍
pastikan Anda benar² mencari dan memanfaatkan fasilitas tersebut, sebelum terjun ke dalam pernikahan. malah kalau perlu, sengajakan ikut beberapa kali bimbingan dari berbagai institusi supaya wawasannya jadi makin kaya.
dan saya percaya itu saja masih belum cukup.
pembekalan/bimbingan pranikah yang dilakukan banyak institusi keagamaan dan pemerintah lainnya ini masih terlalu singkat untuk membantu kedua orangnya mengevaluasi diri, mengevaluasi pasangan yang terbaik untuknya, mengevaluasi kemampuan dan tujuan berelasi, serta merancang kehidupan rumah tangga seumur hidup.
fasilitas tersebut biasanya baru diikuti SETELAH seseorang menentukan siapa yang mau dinikahi.. itu pun dilakukan setahun terakhir menuju target pernikahan. tidak jarang saya dengar cerita para couples melakukannya di bulan-bulan terakhir menjelang nikah sambil mengurus rencana gedung, gaun, dan tetek-bengek keluarga lainnya; bahkan ada yang di minggu-minggu terakhir.
artinya, apapun yang dipelajari (ataupun baru diketahui) dalam bimbingan pranikah itu tidak sempat memberi dampak signifikan terhadap kualitas pribadi ataupun hubungan mereka.
apapun perbedaan, ketidakcocokan, perilaku sulit/buruk, serta ketidakmampuan yang terungkap semasa bimbingan itu cenderung dijadikan asal-tahu-aja tanpa ada upaya pertimbangan ataupun tindakan korektif yang serius.
apapun keterampilan dan masalah yang baru dipelajari, sedikit sekali waktu dan tenaga yang bisa didedikasikan untuk memprosesnya sebaik mungkin.. karena sepasang kekasih yang terlibat (dan keluarga mereka) biasanya sudah heavily invested in the marriage plan.
istilahnya, mereka cenderung enggan mengerem mobil pernikahan mereka yang sudah melaju kecepatan tinggi.. boro-boro bersedia putar arah dan ganti co-pilot.
alhasil, sekolah dan bimbingan itu bisa jadi bersifat formalitas, legalitas, ritualistik saja. orang² mengikutinya semacam demi dapetin stempel lulus.. bukan karena benar² peduli akan kualitas hubungan mereka.
🌟🌟🌟
saya percaya 50% bobot dari rumah tangga yang sehat ada pada pilihan partner yang tepat.
itu sebabnya kalau sudah terlanjur pilih yang tidak tepat, upaya² bimbingan pranikah (dan pascanikah sekalipun) akan relatif sedikit sekali memperbaiki keadaan.
berubahnya mungkin hanya sedikit saja dan sebentar saja, tapi perjuangannya luar biasa berat dan panjang, pasti mempengaruhi perkembangan anak, dan tidak jarang penuh luka serta berdarah-darah.. figuratively and literally.
ada banyak sekali domain yang perlu dievaluasi dalam diri sendiri dan pacar.. SEBELUM ambil keputusan mau menikahi dia, merancang pernikahan, dan menjalani bimbingan pra-nikah.
makanya judul artikel ini engga typo alias salah ketik.
saya bicara tentang terampil mengenali diri dan mengelola hubungan SEBELUM MASUK SEKOLAH PRANIKAH.
ini soal kecerdasan dan keterampilan relasi pra-pranikah.
🌟🌟🌟
banyak married couples yang mengeluh kecewa, "Waktu pacaran dia ga ada sikap buruk XYZ ini kok!" sambil mengenang, "Malahan kami baik-baik saja kok, banyak orang yang kagum, support, bahkan iri ngeliat kami yang bisa terbuka, komunikatif, dan serius banget."
mereka mengeluarkan berbagai macam justifikasi dan teori konspirasi bahwa mereka tidak bisa melihat ada potensi masalah dan konflik sewaktu pacaran. setelah nikah, mereka berlomba lempar tanggung jawab dengan nuding pasangannya yang mendadak bermasalah, berubah lah, ingkar janji lah, dipengaruhi keluarga lah, diganggu pihak ketiga lah, disantet lah, dsb..
padahal segala masalah yang dialami dalam pernikahan nanti sebenarnya sudah bisa diterawang, diteropong semenjak relasi pacaran, bahkan ada beberapa yang bisa dilihat semasa single dan PDKT.
perilaku sulit/buruk diri sendiri dan pasangan yang BARU DIBAHAS ATAUPUN KETAHUAN saat kelas bimbingan pranikah (beberapa bulan sebelum hari pernikahan) pasti sudah bisa dikenali, ditelusuri benang merahnya pada tahun pertama pacaran.
jika baru disadari saat keduanya ikut bimbingan pranikah, itu sebenarnya sih sudah lumayan terlambat dan repot menanggulanginya.
itu alasannya saya tidak pernah lelah mengulang dan mengajar rekomendasi pacaran 2-3 tahun SEBELUM memutuskan untuk menikah (alias menjalani proses pranikah).
kita perlu ruang untuk mengembangkan kesadaran dan keterampilan dalam berelasi.. mengevaluasi diri sendiri dan pasangan kita, SEBELUM menentukan mau lanjut nikah atau tidak.
🌟🌟🌟
menurut saya, pacaran itu BUKAN kontrak sosial yang otomatis berujung pada pernikahan.
kita bisa saja pacaran serius, tapi bukan serius dalam artian pasti akan menikahi dia no matter what.. melainkan serius dalam artian melakukan fit and proper test secara berkala, tidak mau sembarangan menikahi orang.
pacaran justru laboratorium untuk mengumpulkan sebanyak mungkin data empiris seputar potensi sumber daya, latar belakang, kekuatan, masalah, ketidakcocokan, fleksibilitas, dsb yang diperlukan untuk proyeksi kualitas relasi seumur hidup nanti.
salah satu ujian besar yang perlu dilakukan semasa pacaran adalah seberapa jauh kemampuan pasangan dalam mendukung pekerjaan dan tanggung jawab kita. kita bukan sekedar menguji seberapa mampu, tapi juga seberapa konsisten dia melakukannya.. seperti saya jelaskan dalam gambar.
kalau dia konsisten, tanyakan pada diri sendiri seberapa jauh kita punya kemampuan (dan konsistensi!) untuk menghargai dukungannya itu.
kalau dia kurang konsisten, tanyakan pada diri sendiri seberapa jauh kita punya kemampuan (dan konsistensi!) menegur dan membantu dia. pertanyakan juga seberapa jauh dia punya kemampuan (konsistensi!) untuk merendahkan hati, membuka diri, mendengar masukan, mengakui kekurangan/kesalahan, dsb.
kalau kita dan dia sama² sadar kurang konsisten, maka selama pacaran ini kita perlu mengedukasi dan membekali diri dengan materi, tehnik, strategi yang memperbaiki keadaan. konsumsi buku dan video pengembangan diri, tanya² sama senior yang lebih berpengalaman, berkonsultasi dengan psikolog, ikut acara² Kelas Cinta, dsb.
kalau kita dan dia sudah sama² mencoba perbaikan ini-itu tapi efeknya tetap minim ataupun naik-turun tidak permanen, jujurlah proyeksikan apakah kita bisa kuat, sehat, bahagia berada dalam hubungan yang begitu terus polanya selama 50 tahun ke depan.. dan tega melihat konsekuensi negatif yang akan dialami anak sepanjang itu.
kalau kita merasa siap dengan proyeksi itu, yowis kita bisa lanjutkan ambil keputusan nikah dan ikut bimbingan pranikah di bulan²/minggu² terakhir.. semoga ada mujizat terjadi, dan saya pribadi ucapkan good luck.
kalau kita merasa tidak setiap dengan proyeksi itu, kita pikirkan ulang apa makna hubungan yang tidak sehat itu, apa saja ketidakselesaian diri yang kita lalaikan sehingga jadi mendesak bertahan dalam ketidakbahagiaan, kapan batas waktu kita melangkah keluar dari sana, dan apa yang kita butuh sementara waktu ini agar diri lebih kuat ketika tiba deadline-nya.. semoga bisa segera tercapai, dan saya pribadi ucapkan congratulations.
🌟🌟🌟
seperti saya sudah bilang, itu hanya SECUIL keterampilan yang perlu kita miliki dan kuasai sebelum lanjut-ke-bimbingan-pranikah.. alias masa pra-pranikah. ada segudang keterampilan lainnya di KelasCinta.com, serta di lembaga edukasi kesehatan mental lainnya.
segala cikal bakal perilaku buruk, konflik, ketidakharmonisan akan bisa dikenali apabila kita sudah membekali diri dengan kesadaran dan keterampilan pra-pranikah.
dan bukan itu saja.
besar sekali kemungkinan hubungan berhasil diperbaiki seiring perjalanan, karena sepasang kekasih itu masih PUNYA BANYAK WAKTU DAN ENERGI untuk banting tulang mengembangkan diri.
mereka tidak dikejar-kejar target hari menikah, tidak didesak kedua keluarga, tidak ribet urusin wedding, karena toh keduanya memang belum sepakat akan nikah.. masih menunggu kelengkapan data-data untuk pengambilan keputusan.
setelah ada banyak data yang valid dan meyakinkan, mereka bisa mulai merancang hari pernikahan sambil mengikuti bimbingan pranikah dari mana pun.
saya yakin bimbingan pranikah yang sangat singkat itu akan jadi JAUH LEBIH BERMANFAAT karena isinya mengkonfirmasi dan menambahkan segala renovasi yang sudah mereka konsisten lakukan selama bertahun-tahun ini.
mereka sudah ada momentum kesadarannya, bimbingan pranikah menjelang hari pernikahan itu akan menyempurnakan bagian-bagian kecil yang masih tersisa atau tak sengaja terlupakan..
masuk akal kan?