08/10/2025
SUSILA: PENTING ATAU GENTING?
Sepenting apakah ajaran susila (etika) dalam agama Hindu? Ada kecendrungan ajaran etika atau susila ini mulai luntur dikalangan masyarakat tak terkecuali umat Hindu. Maraknya kasus bunuh diri belakangan ini menunjukkan bahwa ada kerapuhan dalam cara menghadapi masalah yang tentunya bersumber dari lemahnya hati yang dipengaruhi beragam kondisi. Persoalan ekonomi, keluarga, percintaan, pekerjaan dan beban hidup bisa saja menjadi pemicunya. Jugupsa adalah rasa muak dengan persoalan yang dihadapi dapat memicu antipati terhadap kehidupan. Dari jugupsa munculah bhaya (takut) dan bhayanaka (khawatir terhadap kondisi hidup), dan jalan pintas paling keliru dalam mengatasinya adalah bunuh diri.
Media sosial menjadi tempat dimana perilaku seseorang yang bahkan kurang pantas menjadi konsumsi publik. Ruang-ruang privat yang seharusnya bersifat pribadi kini diobral seperti penjual kaki lima di emperan toko, seolah etika tidak lagi menjadi penting yang penting eksis dan cuan. Hal ini mengingatkan kita pada pandangan Enstein: science without religion is lame, religion without science is blind. Kini terbukti bahwa kemajuan ilmu pengetahuan tanpa tuntunan agama menyebabkan sendi-sendi etika moral mulai tergerus. Ketika etika mulai runtuh itu merupakan pertanda bahwa agama mulai “mati” atau setidaknya bukan bagian penting dalam masyarakat. Jadi etika merupakan tolak ukur seberapa yakinkah kita kepada dharma (agama). Sarasamuscaya menyatakan bahwa etika merupakan alat menjaga dharma:
Prawrĕtti rahayu kta sādhana ning rumakṣang dharma, yapwan sang
hyang aji, jñāna pagĕh ekatāna sādhana ri karakṣanira, kunang
ikang rūpa, si radin pangrakṣa irika, yapwan kesujanman, kasuśīlan
sādhananing rumakṣa ika.
Terjemahan:
Tingkah laku yang baik merupakan alat menjaga Dharma; akan sastra suci pikiran yang tetap teguh dan bulat saja merupakan upaya untuk menjunjungnya, adapun keindahan paras adalah kebersihan pemeliharanya itu, mengenai kelahiran mulia maka budhi pekerti susila yang menegakkannya (Sarasamusscaya, 162).
Ketik etika kehilangan tempat maka hakikatnya dharma mulai pudar, keyakinan terhadap agama mulai tipis. Demikian p**a pemikiran tentang inkarnasi dan kriyamana karma phala tidak lagi menjadi bagian utuh dalam kehidupan umat Hindu. Etika bukan hanya tentang hidup hari ini tetapi lebih jauh menentukan kelahiran dimasa depan. Bila generasi muda mengabaikan etika sama dengan mengabaikan agamanya, tidak meyakini karmaphala dan abai terhadap kelahiran kembali (punarbhawa), yang merupakan dasar-dasar keyakinan Hindu. Jadi etika (susila) bukan lagi hal yang benar-benar penting tetapi saat ini benar-benar genting. Jika kita tidak ingin kehilangan jati diri sebagai manusia Hindu yang utuh etika harus ditegakkan kembali, sebab etika merupakan salah satu pilar penting dalam agama Hindu.
Kerangka Hindu terdiri dari tattwa, etika dan upacara yang disebut tri kerangka dasar agama Hindu atau disebut p**a dengan Tri Pitama (tiga pilar utama) Hindu Dharma. Ketiganya ini harus dilihat sebagai satu kesatuan utuh yang tak terpisahkan dan dianalogikan sebutir telor. Upacara ibarat kulit telor, etika ibarat putih telor, dan tattwa ibarat kuning telor. Upacara yajnya terlihat sebagai aktifitas ritual yang didalamnya mengandung etika dan bersumber pada tattwa.
Demikian p**a etika atau susila dipengaruhi oleh tattwa, oleh sebab itulah susila merupakan praktek kebajikan yang tidak dapat dilepaskan dari tattwa sebagai landasan yang membangunya.
Samkhya menjelaskan bahwa setiap makhluk memiliki lapisan ego pribadi yang disebut sebagai ahamkara atau rasa aku. Menurut teori rasa manusia memiliki sembilan rasa yang lahir dari emosi dasar antara lain rati (cinta), hasa (humor), soka (sedih), krodha (marah), utsaha (teguh), bhaya (takut), jugupsa (muak), vismaya (heran), sama (tenang) (Sukayasa, 2007).
Sembilan rasa ini mempengaruhi perilaku seseorang, karena bagaimanapun tindakan seseorang dimulai dari niat. Niat itu sendiri adalah keinginan yang berasal dari hati yang dipengaruhi perasaan-perasaan yang menyelimutinya. Perasaan krodha (marah) menimbulkan raudra (ganas) yang dapat membahayakan orang lain bila tidak terkendali. Demikian p**a rati (cinta) dapat menimbulkan rasa srnggara (asmara, erotis) yang jika tidak dikendalikan menimbulkan kejahatan seksual.
Karena itu ajaran susila sebagai ajaran pengendalian diri sangat diperlukan dalam mewujudkan manusia unggul dan mulia. Manusia utama menurut Hindu adalah manusia yang dikenal karena tingkah lakunya:
Ulah rahayu mara hetu nikang wwang kinawruhan kasujanmanya,
yadyapin hilanga ktang kawwangan, yan suśīla ikang wwang, ndān
kinawruhan muwah kawwangan ika.
Terjemahan:
Tingkah laku yang baik (Ulah Rahayu) seseungguhnya merupakan sebab orang dikenal berkelahiran mulia; biarpun silsilah keturunannya sudah tidak ada lagi, asalkan orang itu berkelakuan susila, akan diketahui p**a akan asal keturunan orang itu (Sarasamusscaya, 163).
Apa yang harus dilakukan agar menjadi manusia yang menjunjung etika? Hindu menempatkan secara khusus ajaran etika sebagai ajaran yang sangat penting dalam mengendalikan pikiran. Ajaran Etika Yoga yang terdiri atas panca yama dan panca niyama brata menjadi landasan pijakan menuju jenjang berikutnya dalam astangga yoga. Panca yama Bratha dijelaskan dalam Wrhaspati Tattwa, sloka 60-61: Ahimsa (tidak membunuh), brahmacari (menuntut ilmu dan mengindarkan dari hubungan kelamin), satya tidak berbohong), awyawaharika (tidak berbuat dosa karena kepintaran), astainya (tidak mencuri) .
Panca niyama bratha terdiri dari: Akrodha (tidak marah ), Guru Susrusa (bakti berguru), Sauca (selalu melakukan japa, membersihkan badan), Aharalagawa (tidak banyak-banyak makan), Apramada (tidak lalai) (Sura, 2001). Ajaran panca yama dan panca niyama brata inilah yang membentuk dasar-dasar kesepakatan norma susila dalam kehidupan bermasyarakat.
video: pemanis sesama peng mancing merapat...