17/01/2025
Satu keluarga harus membayar karma pelet da’rah haid. Perempuan-perempuan itu meninggal dengan cara mengenaskan, hingga tersisa satu orang yang sedang berjuang membebaskan diri ….
TELUH GETIH REGET
Part 3. Surgo Nunut, Neroko Katut
Untuk menghilangkan kekesalan ini pada Ibu, aku mengantarkan sendiri abon kes**aan Mbah Putri. Ketika melintasi halaman rumah Mbah Wiryo, aku merasakan suasana sudah tak sehangat dulu saat orang-orang sepuh masih ada. Ada sepi dan rindu menyelusup dalam hatiku, membuat mata menghangat tiba-tiba.
Rumah Buyut Rais tidak berpenghuni. Hanya sesekali Pakde Sentot sebagai ahli warisnya datang untuk membersihkan rumah. Kediaman Mbah Wiryo pun tak seramai dulu saat keduanya masih ada. Rumah sebesar itu hanya ditinggali Lek Jum berdua dengan Jaya.
Begitu p**a dengan dalemnya Mbah Putri. Sejak Mbah Kakung sedo, dua anak lelakinya memutuskan tinggal di kota lain. Beliau hanya berdua dengan Mak Piah, dan sesekali Bude Padmi datang berkunjung. Kadang sehari dua hari, kadang juga hanya beberapa jam saja.
Waktu berlalu begitu cepat. Banyaknya pendatang membuat kampung ini telah jauh berubah. Keluarga kami bukan lagi keluarga priayi. Hilangnya orang-orang magersari, adalah hilangnya kekuasaan sang tuan tanah. Tak terdengar lagi panggilan Jeng, Ndoro, Tuan, dan Mas Guru seperti dulu.
Sampai di lompongan, aku mendengar suara beberapa orang dari arah halaman belakang. Ternyata ada Bude Padmi dan Buk Tun berkunjung ke rumah Mbah Putri. Keempat perempuan itu sedang duduk di amben menikmati nasi karak, ikan asin, dan sambal bawang. Mereka tampak gembira dengan hidangan ala kadarnya itu.
Setelah mencium tangan Mbah Putri dan Bude Padmi, aku menyapa Buk Tun. Sudah lama kami tidak bertemu.
"Buk Tun sehat? Sudah lama ndak ketemu." Aku menyapa sambil menyalami perempuan yang tak bisa berbahasa Jawa ini. Padahal beliau sudah tinggal puluhan tahun di sini. "Oh, iya, tadi Putri ketemu Rusmiati di kota."
Hening. Keempat perempuan itu berhenti makan nasi karak yang masih tersisa banyak di piring mereka.
"Putri sudah makan?" tanya Mbah Putri.
"Belum tapi Putri masih kenyang, Mbah. Tadi makan onde-onde. Ini abon buat Mbah Putri." Aku menyerahkan abon di atas nampan. Lalu kembali menoleh ke arah Buk Tun. "Memang Rusmiati dari mana, Buk? Sepertinya dia sendirian."
"Putri mau karak?" tanya Bude Padmi. Beliau menunjuk wakul bambu di depan Mak Piah. "Enak. Mak Piah yang buat tadi. Sambalnya juga enak. Mau?"
"Kan, tadi Putri sudah bilang kalau masih kenyang–"
"Oh, ya, itu abon apa? Daging atau ayam?"
"Daging." Aku menjawab singkat lalu menoleh lagi ke Buk Tun yang duduk di samping Mak Piah. "Buk Tun–"
"Kenapa jam segini sudah ada di rumah, Nduk?"
Ini kenapa, sih? Banyak benar yang ditanyakan Bude Padmi sampai aku ndak bisa ngomong sama Buk Tun.
"Ini, 'kan Sabtu, Bude. Jam dua sudah p**ang." Aku masih sabar.
"Ya Allah, bude sampai lupa hari."
"Buk Tun–"
"Ibumu ke mana?" Lagi-lagi Bude Padmi menyela. "Panggil gih, bilang sama Ibu, Mak Piah masak sambal bawang dan nasi karak."
Argh ….
Aku berlalu tanpa pamit. Kesal sekali. Ada apa dengan orang-orang ini?
**
Hari-hari selanjutnya, aku sering menjumpai Rusmiati di jalanan. Kadang berdiri menunggu angkot, tak jarang dia berboncengan motor dengan laki-laki lain. Dandanannya sudah jauh berubah. Terkesan norak dengan lipstik merah menyala, rambut keriting, baju kekecilan, celana kesempitan, dan sandal berhak tinggi yang membuatnya susah berjalan.
Rusmiati bukan lagi perempuan lugu seperti dulu, setiap kali lewat jalan desa selalu menundukkan kepalanya. Sekarang dia seakan-akan ingin menantang pandangan orang, terutama lelaki. Cengengesan sambil mengibas-ngibaskan rambut. Melihat perempuan itu, aku jadi geli sendiri.
"Nuwun sewu, Mas."
Mendengar suara kemayu itu, aku sontak mengangkat kepala dari komik di atas pangkuan. Menoleh ke jalan dan melihat Rusmiati menyapa Bapak yang sedang duduk denganku di teras depan.
Setelah membalas salam dan melambai pada Rusmiati, Bapak menoleh padaku. Kami berpandangan sesaat lalu tertawa geli.
"Mulai kapan Rusmiati manggil Mas sama Bapak?" tanyaku setelah tawa kami reda. "Kayaknya dulu waktu masih tinggal dekat kaliwangan, dia manggil Bapak, 'kan?"
Bapak mengangkat bahu sambil berusaha menahan tawa. "Ndak tahu. Tiba-tiba manggil Mas."
"Terus dia manggil Ibu apa? Mbak?"
"Masih manggil Ibu." Beliau tertawa lagi. "Kemarin ibumu ya mbesengut. Pas Rus lewat, dia manggil kami Mas dan Ibu."
Aku ngakak. "Aneh bener, sih. Berubah banget dia sekarang. Dulu pendiam, malu-malu, sekarang malah malu-maluin."
"Kasihan Opek," desah Bapak sambil menghela napas panjang. Wajahnya berubah serius, tak ada jejak-jejak tawa yang tertinggal. "Laki-laki adalah kepala rumah tangga, bagaimanapun kondisinya. Baik atau buruk tingkah laku istri tergantung bagaimana suaminya. Karena istri itu, surgo nunut neroko katut."
Aku menutup komik, sudah tak ada keinginan menghabiskan hari Minggu pagi dengan membaca. Perlahan aku beringsut dan bersandar dinding, memperhatikan wajah Bapak yang tampak bersedih.
**
Surgo nunut neroko katut artinya, ke surga ikut ke neraka terbawa. Filosofi Jawa ini diartikan sebagai cermin kesetiaan seorang istri terhadap suaminya. Mengikuti ke mana pun suaminya pergi, baik ke surga maupun neraka.
Bagi perempuan Jawa, setia adalah kriteria wajib yang harus dimiliki. Setia pada bagaimanapun kondisi suaminya. Seperti sebuah ungkapan, urip rekoso gelem, mukti ugo biso, sabaya mukti sabaya pati. Artinya hidup dalam kesusahan bersedia, hidup makmur pun bisa, sehidup semati dalam s**a maupun duka.
"Apakah Rusmiati … tidak setia pada Cak Opek?"
"Begitulah kabar yang terdengar di kampung kita akhir-akhir ini."
"Putri beberapa kali melihat Rusmiati di kota. Kadang sendirian, pernah juga sama laki-laki lain."
Bapak menghela napas panjang. "Doakan rumah tangga Cak Opek baik-baik saja. Kasihan, dia sudah berhenti dari bengkel. Kerjanya cuma mancing. Kadang dapat, kadang juga sampai subuh ndak bawa apa-apa."
"Loh, Cak Opek ndak kerja di bengkel lagi?" tanyaku kaget. "Sejak kapan?"
"Sejak ada ref0rmasi kemarin. Sama dengan Putri, kena imbas dari dem0 besar-besaran."
Benar-benar berita yang mengejutkan. Kukira hanya pabrik garmen saja yang terguncang gara-gara ref0rmasi kemarin. Sampai hampir satu bulan ini, tidak ada kejelasan sama sekali bagaimana dengan nasibku dan teman-teman yang lain. Apakah lanjut kerja atau tidak. Masih sabar menunggu tanpa kepastian.
Ternyata, Cak Opek pun nasibnya sama. Bengkelnya tutup dan dia terpaksa pergi ke laut untuk mencari ikan setiap malam. Berangkat setelah magrib dan p**ang menjelang subuh.
Apa karena Cak Opek ndak kerja seperti dulu yang membuat Rusmiati berubah? Jadi sering keluyuran di jalanan, boncengan sama laki-laki lain, dandan menor, dan menjadi genit begitu. Lalu u4ng untuk membiayai penampilannya itu dari mana jika Cak Opek tidak bekerja?
Mungkinkah dia … ah, semoga yang kupikirkan ini salah.
**
Menjadi pengangguran itu ndak enak banget. Setelah membantu Ibu masak dan bersih-bersih rumah, sudah ndak ada lagi yang bisa kulakukan. Biasanya membaca komik di kamar atau sekadar duduk di undakan dapur.
Dulu, aku paling s**a duduk di undakan dapur. Semilir angin dari barongan membuat tubuh dan pikiran rasanya nyaman dan tentram. Sambil makan uwi rebus bisa sekalian melihat lalu-lalang kendaraan yang melintas di jalan desa atau menyapa tetangga yang lewat. Namun, setelah ada rumah Lek Budi di halaman samping, aku jadi malas. Ndak ada yang dilihat, ndak bisa rasan-rasan (bergosip).
Duduk di teras depan juga malas, apalagi kalau ada Mbah Kasni di rumahnya. Tidak menegur, nanti salah. Menegur malah takut salah ngomong. Takut salah lihat dan salah-salah yang lain, nanti bisa membuat beliau marah-marah. Jadi kalau bosan di kamar, aku lebih s**a menemani Mak Piah di halaman belakang rumah Mbah Putri.
Seperti siang ini. Kebetulan di halaman belakang bukan hanya ada Mak Piah dan Mbah Putri, tapi juga ada Buk Tun. Sepertinya, perempuan sepuh itu sering tampak berkunjung akhir-akhir ini.
"Belum ada kabar kapan kerja lagi, Nduk?" tanya Mbah Putri saat melihatku datang.
Aku hanya menggeleng. Ikut duduk di amben, di samping Mbah Putri. Memperhatikan Mak Piah dan Buk Tun yang sedang membersihkan gayam.
"Wah, panen gayam."
Gayam ini bentuknya mirip jengkol tapi tidak berbau dan rasanya gurih. Buahnya memiliki cangkang yang keras. Untuk mengupasnya, diperlukan g0l0k yang t4jam dan alas kayu. Sebelum dimakan, buah ini harus direbus terlebih dahulu. Di kampung, pohon gayam yang tinggi dan rimbun difungsikan sebagai peneduh pekarangan.
"Iya, nanti setelah direbus, bawa p**ang secukupnya. Sisanya biar dibawa Buk Tun," ujar Mbah Putri.
Aku menoleh pada perempuan yang namanya disebut Mbah Putri. Beliau duduk di dingklik kayu bersama Mak Piah. Rambutnya sudah memutih semua, kelihatan kurus dan lusuh.
Di antara ketiga perempuan ini, Mak Piah yang umurnya paling tua. Namun, pengasuh ibuku ini masih sehat, tangkas, dan trengginas. Jika dibandingkan dengan Buk Tun, keadaannya sangat jauh berbeda. Seingatku dulu saat masih tinggal di tanah Buyut Cokro, Buk Tun tidak sekurus ini.
"Buk Tun sehat?"
Buk Tun mendongak lalu mengangguk pelan. "Sehat, Neng. Alhamdulillah."
"Cak Opek sehat?" Sekali lagi, perempuan itu mengangguk. "Kata Bapak, Cak Opek sekarang mancing, ya, Buk?"
"Iya, Neng. Di pesisir sana. Malam berangkat, dan p**angnya pagi. Kadang dapat ikan, kadang ndak bawa apa-apa."
"Wes apes sewengi ndak nemu iwak, sampek omah diomeli bojo," gerutu Mak Piah. "Ngunu iku sing marai rezeki seret. Sitik akeh koyone wong lanang iki, kudu disyukuri. Nggih, toh, Ibu Sepuh?"
Mbah Putri menghela napas. "Zamane wes bedo, Mak. Wanito biyen, wani ditoto. Mituhu lan mitayani."
"Sebenarnya sama saja wanita dulu atau sekarang, Bu Sepuh. Hanya saja, si Opek wes kakean dicekoki getih–"
"Mak!"
Aku kaget saat Mbah Putri membentak Mak Piah. Lebih kaget lagi mendengar kata-kata dicekoki getih.
"Getih apa?" tanyaku sambil menatap ketiga perempuan ini bergantian. Namun, tak ada yang menjawab. "Cak Opek dicekoki getih apa?"
"Ndak ada," jawab Mbah Putri sambil berdiri. "Putri tunggu di sini, mbah mau menyiapkan tumang buat merebus gayam."
Setelah Mbah Putri berlalu, aku rebah di atas amben. Berbaring miring, memperhatikan Mak Piah dan Buk Tun yang membersihkan gayam tanpa bicara. Ada yang sedang mereka sembunyikan. Entah apa.
Beberapa kali mataku berserobok dengan Mak Piah. Sepertinya beliau tadi kelepasan bicara tentang sesuatu yang tidak boleh aku ketahui. Sementara itu, Buk Tun terus saja menunduk. Konsentrasi memapas kulit gayam. Entah karena menghindari tatapanku atau takut g0lok di tangannya meleset mengenai jari.
Aku menguap lalu memejam sambil memikirkan Cak Opek. Siapa yang mencekokkan getih atau d4rah padanya? Cekok itu meminumkan paksa dengan cara memeras ke dalam mulut. Biasanya jamu untuk anak kecil.
Tak mungkin seseorang meminumkan d4rah secara paksa pada Cak Opek. Dia pasti memberontak. Kenapa tadi Mak Piah bilang, Cak Opek sudah kebanyakan dicekoki d4rah?
Judul: Teluh Getih Reget
Penulis: Puput Lidra
puputlidra79