Mbah jarrot

Mbah jarrot Spiritualitas artinya kepercayaan pada sesuatu yang berada di luar diri, misalnya tradisi dan agama

13/06/2025

Watch, follow, and discover more trending content.

🎢🌕 Penampakan Kuntilanak Merah di Taman? 🌕🎢Baru-baru ini, sebuah gambar menyeramkan beredar yang memperlihatkan sosok wa...
13/06/2025

🎢🌕 Penampakan Kuntilanak Merah di Taman? 🌕🎢

Baru-baru ini, sebuah gambar menyeramkan beredar yang memperlihatkan sosok wanita bergaun merah duduk di ayunan tua di tengah taman yang sepi. Dengan rambut panjang terurai dan wajah pucat nan dingin, banyak yang mengaku merasakan aura mistis hanya dari melihat gambar tersebut.

👻 Menurut cerita rakyat Indonesia, kuntilanak merah dikenal sebagai roh penasaran yang lebih agresif daripada kuntilanak biasa. Ia dikatakan muncul di tempat yang pernah menjadi lokasi tragedi atau pengkhianatan yang mendalam. Warna merah pada gaunnya dipercaya melambangkan kemarahan dan dendam yang belum terselesaikan...

📍 Lokasi penampakan digambarkan berada di sebuah taman sunyi dengan pepohonan rindang—suasana yang seakan menambah kesan horor dari sosok tersebut.

💬 Berani melihat langsung jika terjadi di taman dekat rumahmu? Atau kamu punya cerita serupa?

👇 Bagikan pengalaman horor kalian di kolom komentar!

JERITAN TETANGGA DI MALAM HARI (1)"Ronda lagi, Mas?" Tanyaku pada Mas Zul. Keningku berkerut menunggu jawabannya. Dan sa...
17/01/2025

JERITAN TETANGGA DI MALAM HARI (1)

"Ronda lagi, Mas?" Tanyaku pada Mas Zul. Keningku berkerut menunggu jawabannya. Dan saat dia mengangguk, aku pun menghembuskan nafas berat.

"Kenapa harus setiap malam sih? Memangnya tidak ada jadwal, ya? Masa setiap malam kamu terus yang ronda? Harusnya kan gantian sama bapak-bapak warga yang lain," protes ku.

"Ya mau bagaimana lagi, Rin. Aku juga s**a di paksa sama yang lain supaya aku ikut, kalau aku gak ikut, mereka pasti ledekin aku. Aku ini suami takut istri lah, suami Cemen lah, suami yang malas gabung lah. Kesal kan kalau di gituin?" Dia malah mengeluh, harusnya aku di sini yang mengeluh. Setiap malam dia selalu pergi dan p**ang menjelang pagi.

Siang dia habiskan di tempat kerja, lalu malamnya dia habiskan di pos ronda.

"Sekali-kali jangan di dengar lah, Mas. Kamu tahu sendiri kan aku takut berdua doang sama Zea?"

Zea adalah putri kami satu-satunya, usianya baru menginjak Dua tahun. Setiap malam, hanya Zea lah yang menjadi temanku.

"Takut apa sih? Disini kan rumahnya dempet-dempetan Rin," Mas Zul masih keukeuh. Dia tampak menyisir rambutnya dengan rapi lalu mengambil sarung dari lemari.

"Ya karena itu, Mas. Aku..."

"Kamu takut suara jeritan di tetangga sebelah? Yang sering kamu ceritakan itu?" Tanyanya.

Aku mengangguk, karena memang itu alasannya. Setiap malam tetanggaku itu selalu menjerit-jerit, entah apa yang sedang dia lakukan.

Atau mungkin dia tengah di pu ku li suaminya? Aku bahkan tidak tahu suaminya yang mana. Mereka memang sangat tertutup, tak berbaur dengan tetangga.

"Karin, Mas yakin kamu itu hanya mimpi atau mungkin halusinasi," ucapnya dengan enteng. Membuat aku kesal dan menatapnya tak s**a.

"Halusinasi? Kamu pikir aku ini tidak waras, Mas? Jelas-jelas Bu Rika juga sering mendengarnya. Kamu tanya saja padanya. Kamu bisa bicara seperti itu karena kamu memang tidak pernah ada di rumah setiap malam, mana mungkin kamu ikut dengar."

Aku mengomel, enak saja dia bilang halusinasi. Tetanggaku yang ada di sebelah kiri rumah itu juga sering mendengarnya.

"Ya ya bisa saja kan, Rin? Karena kamu takut, jadi pikiran kamu ikut tersugesti pada hal-hal seram. Mas cuma.."

"Ah, sudahlah. Bilang ke bapak-bapak ronda yang lain, coba sekali-kali keliling ke sini di jam Dua malam, supaya kalian juga bisa dengar. Lagi p**a kenapa aneh banget yah? Kalian itu ronda tiap malam, tapi tidak pernah tahu tentang jeritan itu."

Mas Zul berdehem, lalu mengangguk, "Iya, nanti aku bilang ke bapak-bapak yang lain. Ya sudah, aku pergi dulu yah."

Aku enggan menjawab, mengangguk pun tidak. Namun saat dia menyodorkan tangan, aku pun tak menolak. Aku menyalaminya seperti biasa.

"Zea, ayah pergi dulu yah. Jangan rewel, baik-baik di rumah sama bunda," ucapnya seraya mengusap puncak kepala Zea yang sudah tertidur sejak satu jam yang lalu.

Ku antar dia sampai ke depan pintu, lalu ku kunci pintu cepat-cepat. Aku tinggal di sebuah perumahan subsidi, selayaknya rumah subsidi lainnya, satu dinding di pakai untuk pembatas rumah yang lain. Kasarnya, satu dinding untuk dua rumah.

Karena itu suara dari tetangga sebelah kadang kerap terdengar oleh ku. Apalagi tetangga sebelah ku itu aneh, setiap malam menjerit-jerit, seperti jerit kesakitan, tapi selepas itu dia terdengar tertawa.

Apa dia gila? Tapi jika kebetulan aku berpapasan dengannya, dia seperti orang normal lainnya. Selalu tersenyum dan menyapa. Hanya saja, kami tidak pernah bicara lama atau panjang lebar. Hanya sekedar menyapa saja.

"Apa aku pakai headset saja yah?" Gumamku, tapi jika aku memakai headset, bagaimana kalau Zea bangun dan menangis? Aku pasti tidak akan mendengarnya.

Ya Tuhan, sejak tetanggaku itu pindah ke sini Dua Bulan yang lalu, malam-malam ku seperti tak pernah tenang. Tidur pun tidak nyenyak, kadang mataku terus terbuka sampai mas Zul p**ang ronda.

Kenapa p**a Mas Zul jadi rajin ronda? Padahal dulu dia tidak pernah mau meski pun jadwalnya. Dia lebih memilih bayar denda atau menyumbang untuk membeli kopi.

Dia juga tidak pernah risih dengan omongan bapak-bapak seperti yang dia ceritakan tadi.


BACA LENGKAPNYA DI KBMAPP

Judul JERITAN TETANGGA DI MALAM HARI
Penulis SAVANA yang

Satu keluarga harus membayar karma pelet da’rah haid. Perempuan-perempuan itu meninggal dengan cara mengenaskan, hingga ...
17/01/2025

Satu keluarga harus membayar karma pelet da’rah haid. Perempuan-perempuan itu meninggal dengan cara mengenaskan, hingga tersisa satu orang yang sedang berjuang membebaskan diri ….

TELUH GETIH REGET

Part 3. Surgo Nunut, Neroko Katut

Untuk menghilangkan kekesalan ini pada Ibu, aku mengantarkan sendiri abon kes**aan Mbah Putri. Ketika melintasi halaman rumah Mbah Wiryo, aku merasakan suasana sudah tak sehangat dulu saat orang-orang sepuh masih ada. Ada sepi dan rindu menyelusup dalam hatiku, membuat mata menghangat tiba-tiba.

Rumah Buyut Rais tidak berpenghuni. Hanya sesekali Pakde Sentot sebagai ahli warisnya datang untuk membersihkan rumah. Kediaman Mbah Wiryo pun tak seramai dulu saat keduanya masih ada. Rumah sebesar itu hanya ditinggali Lek Jum berdua dengan Jaya.

Begitu p**a dengan dalemnya Mbah Putri. Sejak Mbah Kakung sedo, dua anak lelakinya memutuskan tinggal di kota lain. Beliau hanya berdua dengan Mak Piah, dan sesekali Bude Padmi datang berkunjung. Kadang sehari dua hari, kadang juga hanya beberapa jam saja.

Waktu berlalu begitu cepat. Banyaknya pendatang membuat kampung ini telah jauh berubah. Keluarga kami bukan lagi keluarga priayi. Hilangnya orang-orang magersari, adalah hilangnya kekuasaan sang tuan tanah. Tak terdengar lagi panggilan Jeng, Ndoro, Tuan, dan Mas Guru seperti dulu.

Sampai di lompongan, aku mendengar suara beberapa orang dari arah halaman belakang. Ternyata ada Bude Padmi dan Buk Tun berkunjung ke rumah Mbah Putri. Keempat perempuan itu sedang duduk di amben menikmati nasi karak, ikan asin, dan sambal bawang. Mereka tampak gembira dengan hidangan ala kadarnya itu.

Setelah mencium tangan Mbah Putri dan Bude Padmi, aku menyapa Buk Tun. Sudah lama kami tidak bertemu.

"Buk Tun sehat? Sudah lama ndak ketemu." Aku menyapa sambil menyalami perempuan yang tak bisa berbahasa Jawa ini. Padahal beliau sudah tinggal puluhan tahun di sini. "Oh, iya, tadi Putri ketemu Rusmiati di kota."

Hening. Keempat perempuan itu berhenti makan nasi karak yang masih tersisa banyak di piring mereka.

"Putri sudah makan?" tanya Mbah Putri.

"Belum tapi Putri masih kenyang, Mbah. Tadi makan onde-onde. Ini abon buat Mbah Putri." Aku menyerahkan abon di atas nampan. Lalu kembali menoleh ke arah Buk Tun. "Memang Rusmiati dari mana, Buk? Sepertinya dia sendirian."

"Putri mau karak?" tanya Bude Padmi. Beliau menunjuk wakul bambu di depan Mak Piah. "Enak. Mak Piah yang buat tadi. Sambalnya juga enak. Mau?"

"Kan, tadi Putri sudah bilang kalau masih kenyang–"

"Oh, ya, itu abon apa? Daging atau ayam?"

"Daging." Aku menjawab singkat lalu menoleh lagi ke Buk Tun yang duduk di samping Mak Piah. "Buk Tun–"

"Kenapa jam segini sudah ada di rumah, Nduk?"

Ini kenapa, sih? Banyak benar yang ditanyakan Bude Padmi sampai aku ndak bisa ngomong sama Buk Tun.

"Ini, 'kan Sabtu, Bude. Jam dua sudah p**ang." Aku masih sabar.

"Ya Allah, bude sampai lupa hari."

"Buk Tun–"

"Ibumu ke mana?" Lagi-lagi Bude Padmi menyela. "Panggil gih, bilang sama Ibu, Mak Piah masak sambal bawang dan nasi karak."

Argh ….

Aku berlalu tanpa pamit. Kesal sekali. Ada apa dengan orang-orang ini?

**

Hari-hari selanjutnya, aku sering menjumpai Rusmiati di jalanan. Kadang berdiri menunggu angkot, tak jarang dia berboncengan motor dengan laki-laki lain. Dandanannya sudah jauh berubah. Terkesan norak dengan lipstik merah menyala, rambut keriting, baju kekecilan, celana kesempitan, dan sandal berhak tinggi yang membuatnya susah berjalan.

Rusmiati bukan lagi perempuan lugu seperti dulu, setiap kali lewat jalan desa selalu menundukkan kepalanya. Sekarang dia seakan-akan ingin menantang pandangan orang, terutama lelaki. Cengengesan sambil mengibas-ngibaskan rambut. Melihat perempuan itu, aku jadi geli sendiri.

"Nuwun sewu, Mas."

Mendengar suara kemayu itu, aku sontak mengangkat kepala dari komik di atas pangkuan. Menoleh ke jalan dan melihat Rusmiati menyapa Bapak yang sedang duduk denganku di teras depan.

Setelah membalas salam dan melambai pada Rusmiati, Bapak menoleh padaku. Kami berpandangan sesaat lalu tertawa geli.

"Mulai kapan Rusmiati manggil Mas sama Bapak?" tanyaku setelah tawa kami reda. "Kayaknya dulu waktu masih tinggal dekat kaliwangan, dia manggil Bapak, 'kan?"

Bapak mengangkat bahu sambil berusaha menahan tawa. "Ndak tahu. Tiba-tiba manggil Mas."

"Terus dia manggil Ibu apa? Mbak?"

"Masih manggil Ibu." Beliau tertawa lagi. "Kemarin ibumu ya mbesengut. Pas Rus lewat, dia manggil kami Mas dan Ibu."

Aku ngakak. "Aneh bener, sih. Berubah banget dia sekarang. Dulu pendiam, malu-malu, sekarang malah malu-maluin."

"Kasihan Opek," desah Bapak sambil menghela napas panjang. Wajahnya berubah serius, tak ada jejak-jejak tawa yang tertinggal. "Laki-laki adalah kepala rumah tangga, bagaimanapun kondisinya. Baik atau buruk tingkah laku istri tergantung bagaimana suaminya. Karena istri itu, surgo nunut neroko katut."

Aku menutup komik, sudah tak ada keinginan menghabiskan hari Minggu pagi dengan membaca. Perlahan aku beringsut dan bersandar dinding, memperhatikan wajah Bapak yang tampak bersedih.

**

Surgo nunut neroko katut artinya, ke surga ikut ke neraka terbawa. Filosofi Jawa ini diartikan sebagai cermin kesetiaan seorang istri terhadap suaminya. Mengikuti ke mana pun suaminya pergi, baik ke surga maupun neraka.

Bagi perempuan Jawa, setia adalah kriteria wajib yang harus dimiliki. Setia pada bagaimanapun kondisi suaminya. Seperti sebuah ungkapan, urip rekoso gelem, mukti ugo biso, sabaya mukti sabaya pati. Artinya hidup dalam kesusahan bersedia, hidup makmur pun bisa, sehidup semati dalam s**a maupun duka.

"Apakah Rusmiati … tidak setia pada Cak Opek?"

"Begitulah kabar yang terdengar di kampung kita akhir-akhir ini."

"Putri beberapa kali melihat Rusmiati di kota. Kadang sendirian, pernah juga sama laki-laki lain."

Bapak menghela napas panjang. "Doakan rumah tangga Cak Opek baik-baik saja. Kasihan, dia sudah berhenti dari bengkel. Kerjanya cuma mancing. Kadang dapat, kadang juga sampai subuh ndak bawa apa-apa."

"Loh, Cak Opek ndak kerja di bengkel lagi?" tanyaku kaget. "Sejak kapan?"

"Sejak ada ref0rmasi kemarin. Sama dengan Putri, kena imbas dari dem0 besar-besaran."

Benar-benar berita yang mengejutkan. Kukira hanya pabrik garmen saja yang terguncang gara-gara ref0rmasi kemarin. Sampai hampir satu bulan ini, tidak ada kejelasan sama sekali bagaimana dengan nasibku dan teman-teman yang lain. Apakah lanjut kerja atau tidak. Masih sabar menunggu tanpa kepastian.

Ternyata, Cak Opek pun nasibnya sama. Bengkelnya tutup dan dia terpaksa pergi ke laut untuk mencari ikan setiap malam. Berangkat setelah magrib dan p**ang menjelang subuh.

Apa karena Cak Opek ndak kerja seperti dulu yang membuat Rusmiati berubah? Jadi sering keluyuran di jalanan, boncengan sama laki-laki lain, dandan menor, dan menjadi genit begitu. Lalu u4ng untuk membiayai penampilannya itu dari mana jika Cak Opek tidak bekerja?

Mungkinkah dia … ah, semoga yang kupikirkan ini salah.

**

Menjadi pengangguran itu ndak enak banget. Setelah membantu Ibu masak dan bersih-bersih rumah, sudah ndak ada lagi yang bisa kulakukan. Biasanya membaca komik di kamar atau sekadar duduk di undakan dapur.

Dulu, aku paling s**a duduk di undakan dapur. Semilir angin dari barongan membuat tubuh dan pikiran rasanya nyaman dan tentram. Sambil makan uwi rebus bisa sekalian melihat lalu-lalang kendaraan yang melintas di jalan desa atau menyapa tetangga yang lewat. Namun, setelah ada rumah Lek Budi di halaman samping, aku jadi malas. Ndak ada yang dilihat, ndak bisa rasan-rasan (bergosip).

Duduk di teras depan juga malas, apalagi kalau ada Mbah Kasni di rumahnya. Tidak menegur, nanti salah. Menegur malah takut salah ngomong. Takut salah lihat dan salah-salah yang lain, nanti bisa membuat beliau marah-marah. Jadi kalau bosan di kamar, aku lebih s**a menemani Mak Piah di halaman belakang rumah Mbah Putri.

Seperti siang ini. Kebetulan di halaman belakang bukan hanya ada Mak Piah dan Mbah Putri, tapi juga ada Buk Tun. Sepertinya, perempuan sepuh itu sering tampak berkunjung akhir-akhir ini.

"Belum ada kabar kapan kerja lagi, Nduk?" tanya Mbah Putri saat melihatku datang.

Aku hanya menggeleng. Ikut duduk di amben, di samping Mbah Putri. Memperhatikan Mak Piah dan Buk Tun yang sedang membersihkan gayam.

"Wah, panen gayam."

Gayam ini bentuknya mirip jengkol tapi tidak berbau dan rasanya gurih. Buahnya memiliki cangkang yang keras. Untuk mengupasnya, diperlukan g0l0k yang t4jam dan alas kayu. Sebelum dimakan, buah ini harus direbus terlebih dahulu. Di kampung, pohon gayam yang tinggi dan rimbun difungsikan sebagai peneduh pekarangan.

"Iya, nanti setelah direbus, bawa p**ang secukupnya. Sisanya biar dibawa Buk Tun," ujar Mbah Putri.

Aku menoleh pada perempuan yang namanya disebut Mbah Putri. Beliau duduk di dingklik kayu bersama Mak Piah. Rambutnya sudah memutih semua, kelihatan kurus dan lusuh.

Di antara ketiga perempuan ini, Mak Piah yang umurnya paling tua. Namun, pengasuh ibuku ini masih sehat, tangkas, dan trengginas. Jika dibandingkan dengan Buk Tun, keadaannya sangat jauh berbeda. Seingatku dulu saat masih tinggal di tanah Buyut Cokro, Buk Tun tidak sekurus ini.

"Buk Tun sehat?"

Buk Tun mendongak lalu mengangguk pelan. "Sehat, Neng. Alhamdulillah."

"Cak Opek sehat?" Sekali lagi, perempuan itu mengangguk. "Kata Bapak, Cak Opek sekarang mancing, ya, Buk?"

"Iya, Neng. Di pesisir sana. Malam berangkat, dan p**angnya pagi. Kadang dapat ikan, kadang ndak bawa apa-apa."

"Wes apes sewengi ndak nemu iwak, sampek omah diomeli bojo," gerutu Mak Piah. "Ngunu iku sing marai rezeki seret. Sitik akeh koyone wong lanang iki, kudu disyukuri. Nggih, toh, Ibu Sepuh?"

Mbah Putri menghela napas. "Zamane wes bedo, Mak. Wanito biyen, wani ditoto. Mituhu lan mitayani."

"Sebenarnya sama saja wanita dulu atau sekarang, Bu Sepuh. Hanya saja, si Opek wes kakean dicekoki getih–"

"Mak!"

Aku kaget saat Mbah Putri membentak Mak Piah. Lebih kaget lagi mendengar kata-kata dicekoki getih.

"Getih apa?" tanyaku sambil menatap ketiga perempuan ini bergantian. Namun, tak ada yang menjawab. "Cak Opek dicekoki getih apa?"

"Ndak ada," jawab Mbah Putri sambil berdiri. "Putri tunggu di sini, mbah mau menyiapkan tumang buat merebus gayam."

Setelah Mbah Putri berlalu, aku rebah di atas amben. Berbaring miring, memperhatikan Mak Piah dan Buk Tun yang membersihkan gayam tanpa bicara. Ada yang sedang mereka sembunyikan. Entah apa.

Beberapa kali mataku berserobok dengan Mak Piah. Sepertinya beliau tadi kelepasan bicara tentang sesuatu yang tidak boleh aku ketahui. Sementara itu, Buk Tun terus saja menunduk. Konsentrasi memapas kulit gayam. Entah karena menghindari tatapanku atau takut g0lok di tangannya meleset mengenai jari.

Aku menguap lalu memejam sambil memikirkan Cak Opek. Siapa yang mencekokkan getih atau d4rah padanya? Cekok itu meminumkan paksa dengan cara memeras ke dalam mulut. Biasanya jamu untuk anak kecil.

Tak mungkin seseorang meminumkan d4rah secara paksa pada Cak Opek. Dia pasti memberontak. Kenapa tadi Mak Piah bilang, Cak Opek sudah kebanyakan dicekoki d4rah?

Judul: Teluh Getih Reget
Penulis: Puput Lidra
puputlidra79

Siu Ban Ci, Selir Prabu Brawijaya Dari China yang Mengubah Sejarah JawaPrabu Brawijaya yang diduga merupakan raja terakh...
30/09/2024

Siu Ban Ci, Selir Prabu Brawijaya Dari China yang Mengubah Sejarah Jawa

Prabu Brawijaya yang diduga merupakan raja terakhir Kerajaan Majapahit, jatuh cinta pada pandangan pertama, saat menatap gadis cantik bernama Siu Ban Ci. Gadis muslim berdarah China tersebut, datang ke Istana Majapahit untuk menemani ayahnya, Syekh Betong atau Tan Go Hwat.

Syekh Betong yang juga dikenal dengan nama Kyai Betong, datang menghadap Prabu Brawijaya di Istana Majapahit, untuk meminta izin berdagang di wilayah Keling. Syekh Bentong merupakan saudagar kaya, yang juga ulama besar.

Saat menghadap ke Prabu Brawijaya, Syekh Bentong juga membawa berbagai seserahan, yakni batu giok dari China, kain sutra, keramik Tiongkok, d**a, dan mutiara. Tetapi, bukan seserahan itu yang membuat Prabu Brawijaya tertarik, melainkan dia terpikat oleh kecantikan Siu Ban Ci.

Diam-diam, permaisuri Kerajaan Majapahit, Dewi Amarawati atau Putri Champa menaruh rasa cemburu saat menyaksikan Prabu Brawijaya mulai terpikat dengan Siu Ban Ci. Di tengah gemuruh rasa cemburu sang permaisuri, Prabu Brawijaya justru mempersilahkan Syekh Bentong bersama putrinya beristirahat di Puri Kanuruhan.

Setelah beristirahat semalam di Puri Kanuruhan, Syekh Batong dipanggil untuk menghadap kembali kepada Prabu Brawijaya. Saat itulah, penguasa Majapahit itu menyampaikan niatnya untuk meminta putri Syekh Betong, Siu Ban Ci menjadi garwa ampeyan atau istri selirnya.

Permintaan langsung dari Prabu Brawijaya itu, ternyata mendapatkan persetujuan dari Syekh Bentong. Bahkan, Siu Ban Ci akhirnya juga dibawa serta untuk menghadap Prabu Brawijaya. Kedatangan Siu Ban Ci ke Istana Majapahit, dibawa menggunakan tandu terbaik dari Puri Kanuruhan.

Prabu Brawijaya sangat mencitai Siu Ban Ci, kondisi ini semakin membuat Dewi Amarawati dibakar cemburu dan amarah. Dalam Babad Tanah Jawi diceritakan, saat Dewi Amarawati belum juga memiliki keturunan, ternyata Siu Ban Ci justru sudah hamil dari buah cintanya dengan Prabu Brawijaya.

Kehamilan Si Ban Ci semakin memperburuk hubungannya dengan Amarawati. Bahkan, secara terang-terangan Amarawati meminta Prabu Brawijaya untuk menceraikan Siu Ban Ci. Cinta yang sudah tumbuh di hati Prabu Brawijaya, tak dapat dipadamkan.

Prabu Brawijaya tak mampu menolak permintaan Permaisuri Amarawati. Siu Ban Ci akhirnya di kirim ke Palembang, dalam kondisi hamil tiga bulan. Siu Ban Ci dititipkan kepada Adipati Palembang, Arya Damar.

Palembang kala itu masih masuk wilayah kekuasaan Majapahit. Di wilayah tersebut, juga sangat banyak penduduk asal China. Dengan menitipkan ke Arya Damar, Prabu Brawijaya berharap, Siu Ban Ci lebih betah hidup di Palembang.

Arya Damar merupakan putra Raja Majapahit, Bathara Prabu Wikramawardhana dengan seorang selir yang juga berdarah China. Arya Damar yang terhitung masih paman dari Prabu Brawijaya, memiliki nama asli Swan Liong.

Prabu Brawijaya akhirnya melepas kepergian wanita yang sangat dicintainya ke Palembang, dan merelakan Arya Damar menikahi Siu Ban Ci. Prabu Brawijaya memberi syarat kepada Arya Damar, agar Siu Ban Ci tidak diapa-apakan sebelum anak buah cintanya lahir.

Bahkan, Prabu Brawijaya juga meminta agar bayi yang ada dalam kandungan Siu Ban Ci diberi nama Naraprakosa ketika kelak lahir di dunia. Nama Naraprakosa dipilih Prabu Brawijaya, karena memiliki arti laki-laki perkasa.

Setelah lahir, buah cinta Prabi Brawijaya dengan Siu Ban Ci tersebut, justru diberi nama Raden Hasan, dan memiliki nama China, Jin Bun. Saat beranjak dewasa, Raden Hasan melakukan perjalanan ke tanah Jawa, untuk menemui ayah kandungnya.

Saat Prabu Brawijaya atau Bhre Kertabhumi bertemu darah dagingnya, perasaannya begitu senang. Bahkan, penguasa Majapahit tersebut mengangkat Raden Hasan menjadi Adipati Demak.

Prabu Brawijaya juga mengangkat adik tiri Raden Hasan, yang merupakan buah perkawinan Arya Damar dengan Siu Ban Ci, Raden Husain atau Raden Kusen sebagai Adipati Terung, yang dikemudian hari dikenal dengan nama Arya Pecattanda.

Sumber : sindonews.com

Mau barang2 jadul ada disini 👉🏻👉🏻https://s.shopee.co.id/2VYeKaYspz

Buku Sejarah Dunia Lengkap 👉🏻👉🏻https://s.shopee.co.id/7AKU066LbM

Raden Ayu Tan Peng NioRaden Ayu Tan Peng Nio adalah seorang pejuang Tionghoa-Indonesia. Ia berperan dalam perang Geger P...
30/09/2024

Raden Ayu Tan Peng Nio

Raden Ayu Tan Peng Nio adalah seorang pejuang Tionghoa-Indonesia. Ia berperan dalam perang Geger Pacinan melawan tentara Belanda.

Ia adalah anak dari Jenderal Tan Wan Swee, yang berselisih pendapat dan melakukan pemberontakan yang gagal terhadap Kaisar Qian Long (25 September 1711-1799) dari Dinasti Qing.

Jenderal Tan Wan Swee lalu menitipkan putrinya yang bernama Tan Peng Nio kepada sahabatnya, Lia Beeng Goe, seorang ahli pembuat peti mati dan ahli bela diri. Saat kudeta gagal, Tan Peng Nio menjalani pelarian bersama Lia Beeng Goe ke Singapura, kemudian berpindah ke Sunda Kalapa (Jakarta).

Pada tahun 1740, terjadi huru-hara yang terkenal dengan nama Geger Pecinan, dimana terjadi pembantaian terhadap etnis Tionghoa oleh tentara VOC Belanda. diceritakan bahwa Lia Beeng Goe dan Tang Peng Nio mengungsi ke arah Timur, hingga tiba di Kutowinangun (Kebumen, Jawa Tengah) dan bertemu dengan Kiai Honggoyudho yang mahir membuat senjata.

Ketika terjadi peperangan dan penyerbuan selama 16 tahun (1741-1757) oleh Pangeran Garendi, Tan Peng Nio dikabarkan ikut bergabung ke dalam 200 pas**an bentukan KRAT³ Kolopaking II, yang dikirimkan untuk membantu pas**an Pangeran Garendi. Tan Peng Nio juga dikabarkan sempat menyamar menjadi seorang prajurit laki-laki. Peperangan kemudian berakhir dalam perundingan Giyanti, pada tanggal 13 Februari 1755.

Ia menikah dengan KRT Kolopaking III. Saat perang berakhir, ia dan suaminya menetap di Kutowinangun, Kebumen, Jawa Tengah (Jateng). Dari pernikahannya, mereka dikaruniai dua orang anak, yaitu KRT Endang Kertawangsa dan RA Mulat Ningrum. RA Tan Peng Nio dikebumikan di Desa Jatimulyo, Kecamatan Alian, Kebumen, Jateng. Makamnya dibangun dengan gaya makam, berbentuk bangunan Tionghoa.

Address

Gunung Kemukus
Sleman
56364

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Mbah jarrot posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share