22/06/2024
Eksperimen Hutang
Pinjam duit. Saya banyak mendengar cerita soal ini. Bahkan rasanya, tiap manusia yang masih merasa waras, pasti pernah mengalaminya. Meminjam atau meminjamkan uangnya.
Tapi, apa betul kebiasaan berhutang bisa dimasukkan ke dalam wilayah gangguan kejiwaan?
Dulu, sebelum ada media sosial seperti sekarang, saya juga sering mendengar cerita kalau si anu, waktu meminjam uang, baiknya setengah mati. Tapi begitu ditagih, marah-marah ga karuan.
Kirain sih, emang dasar tabiat si anu saja yang begitu. Dan di dunia ini, cuma ada beberapa orang yang kelakuannya seperti itu. Namun, setelah ada media sosial dan hape sudah canggih bisa jepret gambar bahkan video di mana dan kapan saja, ternyata banyak sekali orang bersikap setali tiga uang macam si anu tadi.
Pokoknya, saban buka hape dan langak-longok internet, pasti ada obrolan atau berita macam itu. Tak jarang, aktifitas hutang-piutang berujung ricuh malah sampai ada yang baku pukul.
Pernah saya merenug dalam-dalam soal ini. Sebab ada seorang kenalan yang entah bisa dibilang hobi atau bukan, sering sekali kedengeran kabar dia berhutang dan berujung ribut. Persis sekali dengan yang diceritakan di berita.
Gaya hidupnya, bagaikan si kaya dengan kepemilikan uang berkarung-karung yang ga bakal habis dimakan sampai kiamat.
Di satu masa, pernah saya melihat dia berhore kegirangan lantaran pengajuan kartu kreditnya disetujui dengan limit pinjaman sekian puluh juta rupiah. Dia kasih lihat ke saya langsung.
Begitu p**a waktu dapat hutangan iPhone jenis kelamin terbaru.
Lho, ngutang kok girang? Apa sih sebenarnya isi pikiran dan perasaan orang-orang macam ini?
Beberapa cara saya lakukan guna mengetahuinya. Dari baca artikel tentang kejiwaan, hukum negara, bahkan hukum hutang-piutang dalam agama.
Lho, kok ga tanya langsung ke si dia untuk tahu isi pikirannya soal uang dan hutang?
Hehehe, saya sudah pernah melakukannya bahkan memberi pinjaman kepadanya sebesar Rp 25 juta beberapa tahun lalu. Waktu dia dapat hutangan iPhone pun, dia baru saja berhutang ke saya.
Waktu itu, pertama kali dia pinjam Rp 16 juta untuk mengurus surat tanah warisannya. Saya kasih. Kemudian, dia pinjam lagi beberapa juta rupiah untuk sekolah anak-anaknya. Saya kasih lagi.
Mungkin dia keenakan, lalu pinjam lagi Rp 1 juta untuk memperbaiki mobilnya. Saya kasih lagi. Terakhir, dia pinjam sekian juta lagi guna mengongkosi perjalanan menjenguk keponakan suaminya di Jawa Tengah yang mau disunat. Saya kasih lagi.
Salah satu artikel tentang kejiwaan yang pernah saya baca bilang, orang macam ini memang akan terus memanfaatkan kebaikan orang lain sampai tetes kemampuan paling akhir. Tulisan itu juga bilang, pada akhirnya akan terjadi perseteruan ketika dia minta lagi tapi tak dituruti.
Tadinya saya pikir, itu bisa-bisanya penulis artikel tersebut saja. Tapi ternyata, benar. Dia tahu kemampuan saya sudah habis. Sementara uang yang ada, bukan milik saya. Dia memaksa. Saya ga ngasih. Dia marah-marah dan mulai menempatkan saya di posisi sebagai musuhnya.
***
Beberapa bulan kemudian, saya menagih uang yang sudah dia pinjam sebanyak Rp 25 juta. Dia cuma marah-marah, ngomel dan lain sebagainya, bahkan menghina. Saya coba analisa penyebabnya.
Kalau dibilang dia ga punya duit, rasanya kurang pas. Sebab penampilannya itu lho. Mungkin betul kata artikel tadi, ketika pinjam lagi tapi tidak saya beri.
Kurang lebih tiga tahun hutang itu mengendap dan sempat saya putuskan untuk dilupakan saja. Tapi yang bikin geli, menjelang puasa tahun lalu, tiba-tiba pesan singkat masuk ke hape istriku. Dari dia. Isinya, undangan selamatan rumah baru.
Betul, anda tidak salah baca. Undangan selamatan rumah baru. Ketika soal ini disampaikan, saya cuma bisa terkekeh getir.
Singkat cerita, dia masih tampil layaknya warga masyarakat ekonomi menengah ke atas. Sementara di sisi lain, waktu mulai membawa saya pada kondisi benar-benar membutuhkan uang itu. Sebab sudah bertahun-tahun dicuekin plus, keadaan mendesak, ditagihlah dengan cara tegas cenderung kasar sambil bertatap muka.
Sayang, cuma dapat Rp 5 juta. Dia ubah jurus. Ngeles dan melas. Sambil nangis tentunya. Barulah beberapa bulan kemudian, dia kirimkan bukti transfer senilai Rp 20 juta sebagai pelunasan hutangnya.
Itu pun, bukan dengan jalan yang mulus. Saya betul-betul harus cari cara agar dia mau melunasinya. Sebab bukan apa-apa. Galak banget pas ditagih via pesan singkat. Tapi pas ketemu, melas.
Akhirnya, saya pakai jurus propaganda dan psywar melalui status whatsapp. Saya buat berita karangan tentang dibantainya seseorang sampai tewas bersimbah darah karena ga pernah mau bayar hutang, tapi malah ngundang selametan pindah rumah baru.
Dalam naskah berita karangan itu, saya ceritakan, selain ngundang selametan pindah rumah baru, korban tewas itu juga sering tampil layaknya konglomerat dan selalu marah-marah ketika ditagih hutang.
Cara ini saya lakukan. Orang lain ga bisa lihat. Cuma dia yang bisa baca status itu, hingga akhirnya mentalnya jatuh kemudian ambrol berkeping-keping.
Pasca itu, dia masih dengan gaya dan penampilannya. Tapi ternyata, uang pelunasan hutang tadi adalah hasil hutang p**a kepada adiknya yang dikemudian hari hidup terlunta-lunta.
Saya tahu soal ini dari adiknya yang cerita langsung. Kasihan sekali hidupnya. Bahkan catatan hutang kakaknya itu, dia kasih lihat ke saya. Jumlahnya sangat besar. Hampir Rp 70 juta dan pembayarannya dicicil saban bulan, sekian ratus ribu saja.
Sebanyak Rp 25 juta yang kakaknya pinjam itu, adiknya bilang untuk melunasi hutang kepada saya. Sedang puluhan juta lainnya, dipakai untuk tambahan bayar uang muka kepada pemborong yang membangun rumahnya. Sementara sisanya, dipinjam entah dari mana.
Kepada pemborong pun, dia cuma bayar sebagian. Sisanya dicicil. Sedangkan biaya selametan rumah baru, dipinjam dari adik perempuan bapaknya sebanyak Rp 10 juta. Tantenya juga cerita ke saya.
Saya tidak sedang membuka aib apalagi tengah meng-ghibahinya. Tidak. Makanya, tidak disebutkan identitasnya meskipun cuma inisial saja. Saya hanya sedang mencari tahu apa isi pikiran orang macam itu.
Setelah mendengar keterangan dari adiknya, dari jauh saya terus memperhatikan dia. Tapi tidak dalam rangka kepo. Gaya hidupnya masih seperti itu. Dan kebiasaan berhutang lalu marah pun, masih jalan terus. Kali ini ribut dengan adiknya yang ingin memperbaiki mesin air tapi ga punya duit.
***
Belakangan, rasanya tidak adil kalau saya cuma mengamati. Belum lengkap juga kalau saya hanya berperan memberi pinjaman dan menagih. Posisi harus dibalik.
Kebetulan, saya punya kewajiban bayar cicilan Kredit Usaha Rakyat (KUR). Guna mengetahui dengan akurat, meski ga pasti akurat juga, saya sengaja membangun angan-angan ingin punya ini-itu dan membeli anu saban bulan. Semuanya, bukan kebutuhan pokok apalagi berstatus sebagai kewajiban. Tapi, keinginan saja.
Tiba waktunya bayar cicilan, tiba saatnya p**a saya punya uang. Pas. Tidak kurang, cuma lebih sedikit saja jumlahnya.
Di dalam pikiran, antara kewajiban dan keinginan, saya tempatkan sejajar dengan porsi sama. Saya sengaja menunda pembayaran cicilan bulan itu dan memilih memenuhi keinginan. Hasilnya, sudah barang tentu nafsu yang menang dan selalu bilang :
“KUR mah nanti aja, gampang itu bisa bulan depan,” katanya.
Saya tahu betul kalau itu nafsu yang ngomong. Dan saya juga benar-benar paham apa konsekuensinya kalau terus-terusan dituruti. Tapi baru sekedar tahu dan paham. Belum ngerasain.
Dalam rangka mendapat jawaban, penjelasan dan ngerasain jika hukum sebab akibat bekerja, saya ikutin terus. Di dua bulan berikutnya, eksperimen masih dilanjutkan dengan tidak membayarkan lagi cicilan KUR.
Memasuki bulan ke empat, Mantri BRI yang bertugas melakukan penagihan mulai menderingkan telepon genggam milik saya. Surat undangan guna memberi penjelasan kenapa ada tunggakan pun sudah dilayangkan.
Saya hadir tepat waktu. Tapi sambil deg-degan dan mulai paham isi kepala orang macam “dia” yang sudah dibahas sebelumnya.
***
Siang kelimpungan cari uang. Tapi saya batasi tak boleh lagi ada pinjaman. Malam ga bisa tidur. Sekalinya nyenyak, mulai dibangunin asam lambung yang sudah sampai tenggorokan.
Ke istri, saya ga bilang apa-apa. Pokoknya, dia tahunya aman. Bahkan eksperimen yang sedang saya kerjakan ini pun, tidak saya ceritakan.
Perasaan mulai tidak tenang. Jantung mulai sering berdebar ga wajar. Emosi, mulai sering meledak lantaran hal sepele. Apalagi kalau ada yang nagih.
Di luar rumah, saya mulai memakai topeng bahwa aku adalah orang bahagia. Sampai satu ketika, saya temukan artikel kesehatan.
Di sana disebutkan, orang yang sering deg-degan lantaran tidak tenang akibat keculasannya, berpotensi kena penyakit di sekitaran jantung. Sementara maag yang melilit serta asam lambung yang naik bahkan sampai gerd, akibat lebih memilih penuhi keinginan ketimbang kewajiban.
Soalnya, ketika kewajiban tidak diutamakan dan keinginan malah diperjuangkan, sudah pasti tidak diiringi dengan rasa syukur. Kalau pun diucapkan, itu cuma dibibir saja.
Di beberapa kasus, penderita maag melilit, asam lambung hingga gerd, sering mengeluh soal apa saja.
Ketika saya mulai menagih dengan cara tegas cenderung kasar, “si dia” tadi, dikabarkan masuk rumah sakit dan menjalani operasi pengangkatan batu empedu.
Saya tidak tahu dia sudah sampai linglung atau belum akibat penyakit itu. Sebab artikel kesehatan bilang, jika sudah tiba di titik itu, diakibatkan gangguan kesadaran atau adanya kondisi lain yang mendasari seperti gangguan pada kejiwaan.
Ketika berkaca, benar saja. Wajah mulai lusuh. Kerut kekhawatiran mulai bergores. Sampai sini, eksperimen disudahi. Saya minta ampun kepada Tuhan dan diri sendiri. Beruntung, Allah langsung kasih jalan.
Minuman herbal yang saya buat dan jual dalam rangka cari nafkah, tiba-tiba saja laris manis di luar dugaan. Cukup untuk segera memenuhi semua kewajiban, termasuk tunggakan KUR.
***
Kalau di kemudian hari si dia yang saya jadikan studi kasus membaca ulasan ini, saya berharap dia tidak marah. Saya percaya masih ada kearifan di setiap individu.
Cuma mungkin, dia dan orang-orang serupa itu, tengah dikuasai setan yang datang dari lingkungan pergaulan, ditambah rasa ingin tampil sekaligus mendapat pengakuan dari orang lain.
Ada orang bilang begini : ketika manusia bertambah maju ilmu pengetahuan dan segala tetek bengeknya, justru makin rumit p**a pikirannya. Soalnya, perkakas yang mendukung kebahagiaan bertambah banyak. Entah berapa jumlahnya.
Pendapat ini saya amini. Hanya saja, ungkapan seorang Cina masih saya pertimbangkan. Dia bilang : “meminjamkan uang kepada orang lain, sama saja membeli untuk mendapatkan musuh.”
Sebab, di satu sisi, berdasar pengalaman memang betul. Tapi di lain tempat, ada kewajiban membantu orang lain jika mampu.
Makanya begini saja. jika di antara pembaca budiman ada yang merasa saya masih punya sangkutan, segera hubungi. Mari kita selesaikan meski dengan cara kredit. Mohon maaf, jangan biarkan hutang itu saya bawa mati.