05/03/2024
MENANTU KOCAK MERTUA K0P-LAK 1
"Keramas lagi?!" Terdengar suara protes Bu Romlah ibu mertuaku. "Denger, ya Najwa ... ibu mau kau ka be dulu! Tunda momongan!" Omelnya sambil menyalakan kompor.
Baru sebulan aku menjadi menantunya, tapi tiada hari tanpa ngoceh nggak jelas, menyebalkan.
Aku selesai sholat, lalu ku kibaskan rambut yang masih agak basah sambil sesekali ku seka dengan handuk.
"Ya elah, Bu ... kaya nggak pernah manten anyar aja. Lagian aku keramas juga gara-gara anak lanangmu itu," balasku padanya sambil duduk santuy di kursi bambu yang ada di dapur. Kemudian rambut ku bungkus dengan handuk.
"Aku juga pernah muda, tapi nggak lebay kaya kamu, tiap pagi keramas!" cicitnya.
"Namanya juga manten anyar, biasalah gas pol. Lagian harusnya bersyukur, Bu ... doain semoga lekas punya cucu lagi. Anak lanangmu lho ngebet banget mau aku ha m il, gimana sih!" Kubalas beliau dengan sewot balik.
Aku bangkit lalu melihat, air dipanci sudah hampir mendidih, segera saja kubersiap meracik kopi untukku sendiri. Bukan apa-apa, pernah aku berlaku baik membuat teh untuk beliau eh, kaga diminum gaes ... bayangno! Mangkel to? Air sudah mendidih, lalu kutuang ke cangkir cantik dan aroma kopi menguar.
"Astagfirullah halazim! Ngelus dada aku," keluh Bu Romlah. "Air mau buat bikin teh, malah dipake nyedu kopi!" mulailah oktafnya naik.
"Aris! Aris! Bangun! Liat kelakuan istrimu!" Seriosa dimulai.
Aku duduk santuy di kursi bambu sambil mengaduk kopi mendengar burung kenari tua yang sedang berkicau, aw, aw, aw. Menantu Sabl3ng? Ember!
"Ono opo, to, Bu? Pagi-pagi kok wes ceramah?" Suamiku muncul bertelanjang dada dan memakai celana kolor, serta tangannya memegang handuk "Suara ngaji di mushola sampe kalah sama ceramah ibu! Dari dulu hobi kok nggak ganti, Bu!" cerocos nya lalu masuk kamar mandi.
Aku cecikikan d**g mendengar dan melihat respon my bojo tercinta hahaha. Dan wajah mertua seketika berubah merah bak kepiting rebus. Duh, nggak kebayang gimana jengkelnya, mau ngadu eh, di kacangin. Kesianan deh ....
"Puas kamu ketawa!" Pekiknya membanting baskom ke westafel. Duh, Bu ... kasihan baskomnya geh, kalau pecah gimana?
Ku diamkan saja ibu mertua yang sedang uring-uringan. Nggak enak ati? Nggak tuh, biasa aja. Jurly, aku tuh nggak respect sama orang-orang model begini, tuh. Perlahan ku sesap capucino favorit ku, biar rileks.
"Dek, kopi item, ya!" pinta suamiku usai keluar dari kamar mandi, senyum menggoda terbit di wajahnya.
"Pagi-pagi, ngopi, maagmu kambuh kapok, Ris!" Bu Romlah menyumpahi anaknya.
Beliau meletakkan dua gelas teh ke meja di hadapanku. Pantesan aja protes lagi, wong dia udah bikinin teh buat anak lanangnya, geh.
"Aku pengen ngopi, Bu ... lagian itu kopi asli, aku nggak masalah ngopi ini," balas Mas Aris lalu masuk ke kamar sholat.
Jleb banget deh, kayaknya tuh. Kena lagi, deh! Aku tertawa puas dalam hati.
"Iki mesti ketularan kamu, Najwa!" Telunjuk ibu mengarah ke wajahku.
"Mana ada! Aku ngopi kemasan, kok!" Tentu saja lah, kok ngatain ketularan aku, aneh.
Aku bangkit lalu berjalan mendekati kulkas kemudian mengambil hape kesayanganku. Bapak mertua keluar dari kamar sholat beliau selesai wirid kayaknya. Aku mengecek kerjaanku selama ini, yes hari ini mendarat, oke cuan mengalir.
"Pagi-pagi bukanya bantuin mertua, malah asik maen hape! Dasar mantu nggak tau diri!" sewotnya lagi.
Aku menoleh, salah meneh, salah meneh. Lagian kemarin dimasakin, yang makan cuma suami dan bapak mertua doang, dia nggak mau makan masakanku, yang keasinan lah, kemanisan, lah ... sekarang ngo ceh lagi nggak dibantuin masak, huh sungguh nih mertua minta di eplekenyes kayaknya.
"Lha daripada dimasakin ibu nggak mau makan, yo mending aku nggak masak sekalian, to? Monggo njenengan masak sesuai dengan kemauan anda, Bu!" ucapku sesopan mungkin sambil nyengir kuda tentunya.
"Wes, uwes," lirih bapak mertua memberiku isyarat.
"Ngeneki terus, kepie nggak dar ah tinggi?!" Bu Romlah sewot.
"Salah siapa jual ma hal?" batinku.
******