05/09/2025
Tutur Saraswati
DEWI SARASWATI
SIMBOL PENYADARAN DAN PENCERAHAN
DALAM AGAMA HINDU
I. PENDAHULUAN
Hari ke – 210 dalam kalender Jawa – Bali adalah hari sabtu Umanis Wuku Watugunung, hari terakhir dari lingkaran kalender itu disebut juga hari Saraswati, hari suci bagi umat hindu indonesia untuk melakukan Puja Saraswati.
Tentu menarik perhatian kita bagaimana proses masuknya hari Puja Saraswati ke dalam sistem kalender wuku (Kalender Jawa-Bali), padahal di India sendiri Puja Saraswati diadakan pada awal musim semi antara Januari dan Februari, (Kinsley, 1986 : 64; Benerjea, 1987 : 69). Sebagaimana diketahui umat Hindu Indonesia juga memakai sistem kalender Surya-chandra-pramana yang melahirkan hari-hari raya/suci seperti Hari Raya Nyepi dan Siwaratri; sedangkan sistem kalender wuku antara lain melahirkan hari raya Galungan, pagerwesi, Saraswati dan yang lain.
Puja Saraswati kiranya mendapat tempat istimewa Indonesia, sehingga masuk ke dalam sistem kalendernya, tetapi juga ditempatkan pada hari terakhir, dan hari untuk mengumpulkan dan menyucikan benda- benda pusaka dan pustaka. Puja Saraswati ditandai oleh kegiatan “candi pustaka” (mengumpulkan lontar-lontar dan buku-buku terpilih) yang dijadikan sthana Hyang saraswati, melaksanakan brata Saraswati dan puja Saraswati. puja Saraswati dilaksanakan pada pagi hari (dengan menghaturkan sesajen khusus disebut banten Saraswati), dan pada malam harinya (semalam suntuk) dilakukan pembacaan dan menyanyikan kitab-kitab suci dan kitab-kitab sastra terpilih, sampai besok paginya saat dilakukan Banyu Pinaruh, pencarian air atau membersihkan diri pada sumber-sumber air (laut, danau, campuhan, mumbul, mata air). Kata “banyu pinaruh” boleh jadi berasal dari kata “banyu pangawruh” yang berarti “air ilmu pengetahuan” (yang menyucikan dan memberi vitalitas hidup).
Saraswati (dalam bahasa Sanskerta bermakna “sesuatu yang mengalir”, ‘percakapan’, ‘Kata-kata) di dalam kitab suci Weda dipuja sebagai Dewa Sungai dengan permohonan mendapatkan vitalitas hidup dan kesehatan.Posisinya sebagai Wach atau “Dewa Kata-kata” baru ditemui dalam kitab-kitab Brahmana, Ramayana, dan Mahabharata. Belakangan Saraswati dikenal sebagai “sakti” dewa Brahma atau Dewi Kata-kata atau Dewi Ilmu Pengetahuan. Nama lain dari Saraswati adalah Bharati, Brahmi, Putkari, Sarada, Wagiswari (John Dowson, 1979: 285; Davane, 1968).
Baik sebagai Dewa Sungai ataupun sebagai Dewa Kata-kata atau Dewa Ilmu Pengetahuan, Saraswati dikenal dan dipuja oleh umat Hindu Indonesia. Dalam mantram Sapta Gangga yang diucapkan dalam memohon tirtha nama Saraswati disebutkan beberapa kali (Goris, 1936 : 33). Dengan demikian Saraswati yang pada awalnya sebagai istadewata kaum agamawan dan literati sekarang telah menjadi pujaan seluruh umat Hindu. Adakah hal itu sebagai pertanda telah terjadinya penyadaran dan pencerahan dalam masyarakat umat Hindu?
II. SARASWATI; SIMBOL PENYADARAN DAN PENCERAHAN
Mengawali tulisannya berjudul Saraswati, Kinsley telah mencatat bahwa diseluruh India Saraswati telah dipuja sebagai Dewi Ilmu Pengetahuan. Selanjutnya ia menguraikan bagaimana kehadiran Saraswati dalam kitab-kitab Weda, Brahmana, Ramayana dan Mahabharata sampai pada kitab- kitab Purana.
Studi khusus terhadap Saraswati dalam kitab Weda telah dilakukan oleh Raghunath Airi yang menghasilkan tulisan berjudul “Concept of Saraswati in Vedic Literature” (1977). Ia. menyatakan bahwa dipujanya Saraswati sebagai Dewa sungai tidak terlepas dari keinginan untuk mendapatkan kemakmuran, kesejahteraan dan vitalitas hidup, oleh karena itu Sungai Saraswati kemudian sangat disucikan, sebagaimana sungai Gangga dan Jumna. Tetapi Ananda Swamp Gupta yang mempublikasikan tulisan berjudul “Conception of Saraswati in The Puranas” (1962) menambahkan bahwa pemujaan terhadap Saraswati dilakukan adalah karena Saraswati diyakini memiliki kekuatan yang dapat menyucikan. Di samping itu secara khusus Saraswati disebut sebagai dewi yang dapat menyembuhkan atau memberikan kesehatan dapat kita baca dalam Satapatha-brahmana, atau di dalam Rg Weda (10.131) ketika Saraswati bersama dewa Aswinas disebut bersama-sama.
Catatan singkat di atas ingin menunjukkan bahwa saraswati telah hadir dalam Weda-Weda, kitab-kitab Brahmana, mahabharata, Ramayana, sampai pada kitab-kitab Purana (di Bali sendiri ada kakawin Saraswati, di samping puja / stawa Saraswati). Dengan demikian saraswati yang memiliki “makna spiritual” dan universal, dalam perjalanan sejarah juga mendapatkan maknanya yang kontekstual. Untuk kepentingan diskusi ini kita akan meneoba membahas Saraswati sebagai simbol penyadaran dan pencerahan.
Sebagai Wagiswari, Saraswati disimbolkan berstana dalam aksara suci, oleh karenanya kitab-kitab suci dijadikan candi (candi pustaka, candi bahasa, candi sastra, atau candi aksara) tempat suci bagi Saraswati, tempat Beliau disthanakan (pinratistha, supratistha). Aksara bagaikan menjadi “badan” Dewi Saraswati.
Sebagaimana kita ketahui. aksara suci OM () adalah pranawa mantra (esensi semua mantra), juga disebut sebagai nada Brahma. OM (terbangun oleh ANG, UNG, MANG) adalah “lagu alam semesta” tetapi juga “hukum alam semesta”. ANG, UNG, MANG, utpati, stithi, pralina (lahir hidup mati) adalah hukum alam semesta, yang terjadi pada setiap saat, yang tak terhindarkan oleh manusia, adalah bahan renungan yang penting bagi umat Hindu. Hal tersebut tidak saja akan memberikan wawasan kesemestaan, yaitu tentang hukum yang mengatur alam semesta (Rtt, atau Dharma), tetapi juga renungan yang mendalam ten tang ruang dan waktu, desa dan kala (atau bhuta dan kala). OM atau pranawa mantra (yang digambarkan dengan planit planit di alam semesta ini : bhumi, bulan, matahari, bintang-bintang) adalah juga esensi setiap kegiatan keagamaan Hindu yang terlihat berlapis mulai dari arcana, mudra, mantra, kuta-mantra dan pranawa mantra. Dan prana-wamantra yang maha-suci itu menjadi sarinya. dengan demikian sebuah aksara suci Om telah memberi kesadaran manusia tentang hakekat alam semesta ini (dan juga hakekat) dirinya yang” suci”. Kesadaran seperti itu akan memberikan wawasan kepada manusia tentang s**a dan duka, tentang kesengsaraan dan penderitaan dan seterusnya.
Itulah sebabnya pembicaraan tentang Saraswati pada akhirnya akan sampai pada pembahasan tentang apa yang disebut jnana, prajna, atau samyajnana, stithaprajna dan yang lain. Pembicaraan hal -hal tersebut menjadi intisari kitab-kitab suci Hindu.
Kitab Sarasamuccaya yang oleh penyusunnya (Bhagawan Wararuci, dinyatakan sebagai inti sari kitab Astadasaparwa karya Bhagawan Byasa) memuat sloka berikut : duhkhesvanudvignamanah sukhesu vigatasprhah, vitaçokabhayakkrodhah sthiradhirmuniruyate. Artinya : Yang disebut orang yang memiliki “keprajnanan” tidak bersedih hati jika mengalami kesusahan, tidak bergirang hati jika mendapat kesenangan, tidak keras**an nafsu marah, rasa takut, serta kemurungan hati, melainkan selalu tetap tenang jernih selalu fikirannya, karena beliau memiliki keluhuran budi, orang seperti itu disebut muni, orang yang maha arif bijaksana.
Keprajnanan atau samyajnana yang dimiliki seseorang akan memberikan pengetahuan yang teguh pada-Nya tentang “kebenaran”, sehingga tidak terombang-ambing oleh gelombang s**a dan duka, puas dan kecewa, benci dan sebagainya. Lebih lanjut Sarasamuccaya menyuratkan: vijayagnyudagdhani na rohanti yatha punah, jnana dagdhaistatha klelçairnatma sampadyate punah. Artinya: Maka kenyataannya kecemaran iri akan lenyap, jika dilebur dengan latihan-latihan jnana, jika telah hilang kekotoran diri karena telah ditemuinya samyajnana (pengetahuan sejati), maka terhapuslah lingkaran kelahiran, sebagai misalnya biji benih yang dipanaskan, hilang daya tumbuhnya, tidak mengecambah lagi (510).
Menurut kitab suci Sarasamuccaya, kebodohan (punggung, awidya) menimbulkan kedukaan dalam pikiran, lebih lanjut menimbulkan kesengsaraan. Oleh karenanya senantiasa dikatakan bahwa keprajnanan dipakai melenyapkan kebodohan dan kesengsaraan itu. disebutkan juga bahwa jnanabala (kesaktian pengetahuan) lebih utama dari kayabala, (kekuatan jasmani).
Apabila sekarang kita mengambil kitab Bhagawadgita kita tentu terpaut pada istilah stithaprajna. Pertanyaan Arjuna tentang orang yang telah mencapai sthitaprajna antara lain dijawab oleh Sri Kresna sebagai berikut : “Yang jiwanya tidak iipengaruhi oleh rasa sakit, yang tetap tak perduli meski di :engah-tengah kenikmatan, yang terbebas dari perasaan menyayangkan atau keterikatan dan kekhawatiran dan kemarahan, seorang muni yang sedemikian itu disebut orang yang berjiwa tenteram-seimbang”. (Bhg. II. 56). “Yang tidak memendam sedikitpun keterikatan khususnya terhadap seseorang dan barang, dan yang tidak mengharapkan sesuatu yang menyenangkan pun tidak membenci yang tidak menyenangkan, dialah seseorang yang berjiwa tenteram seimbang (prajna pratisthita)” (Bhg. II. 57).
Samyajnana atau stithaprajna memiliki makna yang sama, yaitu orang yang telah mencapai “pengetahuan yang sejati”, yang telah menghayatinya dan telah p**a melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari. Pendakian sepiritual yang dilakukan untuk mencapai puncak pengetahuan seperti itu diajarkan dalam agama Hindu sebagaimana tersirat dalam simbol Saraswati. Dalam agama Hindu, pengetahuan, kebijaksanaan, dan kesucian adalah sesuatu yang manunggal.
Dalam sebuah tulisannya berjudul “Pengetahuan dan Kebijaksanaan” (1975) S. Radhakrisnan pernah menyatakan bahwa ada kesenjangan antara pertumbuhan kebijaksanaan dan kemajuan pengetahuan. Ketidakseimbangan inilah yang mernberikan pengaruh kuat pada pikiran, ucapan dan tingkahlaku manusia. Setiap manusia harus memandang dirinya tidak sebagai benda hidup yang berada pada permukaan luar dari benda-benda alam tersebut. Ada suatu kedalaman hidup di dalarn dirinya. Ada sebuah pusat di sana yang selalu mengada dan hnggal di sana, apapun perubahan yang mungkin terjadi. Wacaspati mengatakan : esu vyavar-tamanesu yad anuvartate tat tebhyobhinnam. Sesuatu yang berada di dalam dunia yang berputar ini, di dalam roda waktu yang berputar, semua benda berputar, ada sebuah pusat yang tetap pada hap-tiap manusia. Pusat inilah membentuk sumber kebenaran dan kebijaksanaan yang menerangi kita. Apabila kita tidak memperhahkan pusat-pusat tersebut, apabila kita hanya sematamata hidup pada permukaan benda-benda, apabila kita berhubungan dengan mesin-mesin dan membuat diri kita menjadi mesin, maka bahaya besar benar-benar akan terjadi. Akibatnya kita terpisah dari jiwa (atma) kita sendiri. Jadi apapun pengetahuan kita, ilmiah atau humaniora, pahamilah itu sebagai ungkapan pikiran manusia yang mengagumkan, jiwa yang indah dan lembut di mana di dalamnya terdapat nyala api kesadaran. Apabila kita melihat pada permukaan benda-benda hal itu berarti kita melalaikan realitas yang merupakan sumber abadi dari segalanya.
Atmanam-widdhi, pengetahuan tentang Atma, Jiwa seru sekalian alam, yang juga jiwa manusia adalah pengetahuan yang tertinggi. Renungan tentang “Dia yang menjadi Pusat” segalanya (yang kemudian diwujudkan dalam aksara suci OM), Dia yang juga disebut Parama-tattwa oleh para filosof, disebut Parama-sastra oleh para sastrawan, disebut Paramaartha dan Parama-atma oleh umat Hindu secara luas adalah mengarahkan manusia pada kebijaksanaan dan kesucian. Sat Cit Ananda, kebenaran, Pengetahuan dan Kebahagiaan tertinggi, itulah yang menjadi cita-cita umat Hindu, sebagaimana diajarkan dalam kitab suci.
Adanya pemahaman ten tang ajaran tersebut di atas menyebabkan umat Hindu memiliki etos kerja yang jelas. orang yang telah mencapai tingkat pengetahuan tertinggi (samyajnana) tetapi terus aktif dalam kehidupan, menunaikan tugasnya dengan sebaik-baiknya disebut orang telah mencapai jiwanmukta. Sebuah contoh baku tentang orang yang telah mencapai jiwanmukta ini adalah Raja Janaka yang dalam bhagawadgita disebutkan : karmanaiwa hi samsiddhim asthita anakadayah (Hanya dengan berkarma sajalah raja Janaka dan lain-lain mencapai kesempurnaan).
Demikianlah dengan hadirnya Dewi Saraswati dalam agama Hindu, umat Hindu diajarkan untuk terus menerus melakukan pendakian rokhani untuk mencapai samyajnana. Saraswati telah menuntun kita menuju pada “Kesucian rokhani” dengan juga memahami hakikat perubahan, dan hakikat yang abadi. Dengan demikian Saraswati adalah simbol penyadaran dan pencerahan dalam agama Hindu.
III. PENUTUP
Hadirnya Dewi Saraswati, dalam kitab-kitab suci Hindu te1ah menyebabkan umat Hindu memiliki pegangan dan arah yang jelas tentang proses pencarian pengetahuan. Jelas p**a adanya “hakikat pengetahuan” yang menjadi tujuan tertinggi tercapaian pengetahuan tersebut.
Saraswati bagaikan mernbawa obor penerang bagi umat Hindu, membebaskan umat Hindu dari kegelapan pikiran kedukaan, kemarahan, yang menjadi sebab adanya kesengsaraan. Akhirnya umat Hindu sampai pada renungan tentang samyajnana, sthitaprajna, yang merupakan tingkat kesadaran yang tertinggi, tetapi juga tentang paramatattwa, paramasastra yang merupakan sumber pengetahuan yang tak pernah kering dan berubah. Semua itu diwujudkan dalam aksara suci Om atau pranawa mantra.
Saraswati sebagai simbol kesadaran dan pencerahan telah mengakar dan rnembudaya di bumi Indonesia, diwujudkan dalam berbagai bentuk aktivitas keagamaan, termasuk upacara dan upakaranya. Revitalisasi ajaran tersebut perlu dilakukan sehingga simbol Saraswati senantiasa aktual, terlebih lagi dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bekembang pesat dewasa ini.